TEMPO.CO, Bangkok - Komisi anti-korupsi Thailand akan menyelidiki program subsidi beras yang telah memicu protes oposisi terhadap Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Program ini telah menelan anggaran 425 miliar bath atau sekitar Rp 153,8 triliun. Namun, angka itu bisa turun jika ada pembeli stok beras negara. "Mereka yang mengawasi skema tahu ada kerugian tapi tidak menghentikannya," kata Vicha Mahakhun, anggota Komisi Anti-Korupsi Nasional (NACC) dalam jumpa pers, Kamis, 16 Januari 2014.
Oposisi menggelar aksi melumpuhkan kota Bangkok sejak Senin lalu. Mereka akan terus menggelar aksi itu selama dua pekan.
Sementara itu, Yingluck bisa menghadapi tuntutan sebagai Kepala Komite Beras Nasional. Kebijakan itu dinilai merugikan karena pemerintah mengucurkan uang tapi beras Thailand tidak mampu bersaing di pasar internasional. NACC meragukan klaim Menteri Perdagangan saat itu, Boonsong Teriyapirome, bahwa penawaran beras telah dilakukan. "Transaksi beras pemerintah tidak terjadi karena beras tidak dikirim ke luar negeri seperti yang mereka nyatakan," kata Vicha.
Sejumlah eksportir mempertanyakan hal serupa. Yingluck memecat Teriyapirome pada Juni 2013 ketika ia gagal menjawab kekhawatiran publik tentang program penawaran dan anggaran intervensi.
Dalam janji politik pemilu 2011, Partai Puea Thai, partai Yingluck, berjanji kepada petani akan membeli gabah mereka di atas harga pasar. Namun kebijakan itu berdampak pada melonjaknya harga beras di Thailand. Selain itu, Thailand tidak mampu bersaing dengan India yang menawarkan beras dengan harga lebih rendah.
Yingluck memiliki dukungan kuat di pedesaan dan kelas pekerja, loyalis Thaksin di wilayah utara Thailand. Mereka ini menjadi penyokong Yingluck dalam pemilu 2 Februari mendatang. Kakak Yingluck, Thaksin Shinawatra, memenangkan pemilihan sejak tahun 2001. Dia mampu menyingkirkan ambisi oposisi, Partai Demokrat, selama satu dekade.
REUTERS | EKO ARI