TEMPO.CO, Yangon - Jurnalis di Myanmar menggelar aksi protes mengecam ancaman baru terhadap kebebasan pers, Selasa, 7 Januari 2014. Mereka menuntut seorang wartawan yang dipenjara pertama kali oleh pemerintahan Thein Sein dibebaskan. Sekitar 150 wartawan dan aktivis berbaris menolak ancaman terhadap kebebasan pers. Mereka melambaikan pamflet bertulisan "Hak atas informasi adalah kehidupan demokrasi".
Jaringan Wartawan Myanmar memimpin aksi itu untuk menolak hukuman penjara tiga bulan atas rekan mereka yang diputuskan bulan lalu. Seorang wartawan lokal yang ditangkap dalam kasus hukum di negara bagian timur Kayah. Ma Khine, yang bekerja untuk kelompok Eleven Media, dinyatakan bersalah mencemarkan nama baik pengacara, masuk rumah pengacara tanpa izin selama wawancara, dan menggunakan bahasa kasar.
Kelompok wartawan itu menyakini Ma Khine diseret ke ranah hukum karena tulisannya mengupas korupsi dalam sistem peradilan. "Ini adalah ancaman langsung bagi wartawan yang dapat dihukum dengan tuntutan pidana saat membuat berita," kata Myint Kyaw, Sekretaris Jenderal Jaringan Wartawan Myanmar, Selasa, 7 Januari 2014.
Akhir dekade pemerintahan militer pada tahun 2011 menjadi pintu bagi ruang kebebasan pers setelah sensor dilonggarkan dan wartawan yang ditahan dibebaskan. Namun, kelompok hak asasi manusia mengatakan, media sekarang menghadapi berbagai jenis ancaman.
"Serangan terhadap kebebasan pers telah bergeser dari pelecehan negara secara terbuka ke pendekatan sadar hukum, ketika undang-undang media baru berusaha untuk menekan lebih halus pada wartawan dan mencegah mereka membongkar borok," David Mathieson, seorang peneliti Human Rights Watch yang berbasis di New York.
Tahun lalu, Myanmar menempati posisi 151 soal Indeks Kebebasan Pers Dunia, dibandingkan tahun sebelumnya hanya 179. Indeks ini disusun oleh pengawas media, Reporters Without Borders, yang telah menyerukan peninjauan kasus Ma Khine. "Sebuah organisasi berita tidak harus menanggung risiko karena perilaku wartawannya. Kebebasan pemberitaan informasi yang dipertaruhkan," dalam sebuah pernyataan.
CHANNEL NEWS ASIA | EKO ARI