Dukungan terhadap rancangan ini pun datang dari kelompok feminis. Anne-Cécile Mailfert, juru bicara kelompok Berani Menjadi Feminis (Osez le Féminisme) menegaskan bahwa aturan ini tidak hanya melindungi pekerja seks, "tapi juga menunjukkan keberanian menghadapi ketidakadilan dan kebebasan seksual.”
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri Prancis, saat ini terdapat sekitar 20 ribu-40 ribu pekerja seks. Sebanyak 80 persen di antara mereka berasal dari luar Prancis, terutama Eropa Timur, Afrika, Cina, hingga Amerika Selatan. Para pekerja seks asal luar negeri ini kebanyakan terjerumus ke dunia hitam karena perdagangan manusia. Namun, ada pula sejumlah pekerja seks asal Prancis yang memang sukarela menekuni profesi ini.
Selain menindak para pelanggan, rancangan ini juga akan memberikan perlindungan bagi para pekerja seks yang dipaksa terjun ke dalam dunia hitam. Pemerintah melalui beleid itu mengajukan anggaran 20 juta euro per tahun untuk membantu para pekerja seks yang hendak mencari profesi lain.
Bantuan ini berupa perpanjangan visa selama enam bulan bagi pekerja seks asal luar Prancis dan kemudahan memperbarui izin tinggal agar mereka dapat mencari pekerjaan lain. Tetapi klausul ini ditolak oleh sejumlah anggota parlemen dari partai sayap kanan. Mereka khawatir hal ini justru akan memicu imigran ilegal.
Namun rancangan ini tak lepas dari kritik. Syndicat du Travail Sexuel atau Serikat Pekerja Seks Prancis menilai aturan ini akan melemahkan posisi tawar anggotanya. “Kami terpaksa bekerja secara sembunyi-sembunyi yang membuat posisi kami lebih rentan,” tutur Manuela, pekerja seks yang juga juru bicara Serikat.
Kelompok Dokter Tanpa Batas (Médecins Sans Frontières), lembaga swadaya masyarakat yang kerap mengadvokasi pekerja seks juga menilai posisi kliennya rentan, terutama terhadap penyakit seksual menular. “Berdasarkan aturan ini, mereka akan jauh dari pusat kesehatan masyarakat sehinggarisiko terpapar HIV, AIDS dan penyakit seksual lainnya lebih besar,” demikian pernyataan resmi kelompok ini.
GLOBAL POST | NEW YORK TIMES | SITA PLANASARI AQUADINI