TEMPO.CO, Yangon - Pemerintah Myanmar menolak imbauan Sidang Majelis Umum Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberi hak kewarganegaraan bagi suku minoritas Rohingya. Pejabat Myanmar mengatakan negaranya tidak mengakui keberadaan “minoritas Rohingya”.
Melalui resolusi yang disahkan pada Selasa, 19 November 2013, Komite HAM PBB menyambut baik kemajuan HAM Myanmar di bawah pemerintahan Presiden Thein Sein. Namun, disampaikan pula perihal “keprihatinan yang serius” soal perlakuan terhadap minoritas muslim Rohingya di Arakan dan muslim lain di seluruh Myanmar.
“Pemerintah harus memberikan akses yang setara bagi minoritas Rohingya agar mendapatkan kewarganegaraan penuh serta melakukan penyelidikan yang menyeluruh, transparan dan independen terhadap seluruh laporan pelanggaran HAM,” demikian bunyi resolusi tersebut.
Resolusi itu juga menyatakan keprihatinan pada penundaan pendirian kantor Komisioner Tinggi HAM (OHCHR) oleh pemerintah Myanmar. Kantor OHCHR tersebut memungkinkan PBB untuk memonitor sendiri situasi HAM di lapangan.
Wakil Tetap Myanmar di PBB, Kyaw Tin, dan juru bicara Presiden Thein Sein, Ye Htut, menolak desakan PBB itu. “Kebijakan pemerintah Myanmar tidak mengakui istilah Rohingya, tapi Bengalis yang tinggal di negara bagian Arakan. Jika memenuhi syarat sesuai dengan UU Kewarganegaraan 1982, mereka bisa menjadi warga negara,” tulis Ye Htut di laman Facebook-nya, Kamis, 21 November 2013. “Pemerintah Myanmar tidak dapat ditekan. Ini hak kedaulatan kami.”
Dalam sidang PBB, Kyaw Tin mengatakan Myanmar telah lama menolak penggunaan kata minoritas Rohingya. Dia juga menegaskan penolakan untuk mempercepat pendirian kantor OHCHR di Myanmar.
Thein Sein diberitakan berjanji pada Presiden Barack Obama dalam kunjungannya pada November 2012 bahwa Myanmar akan segera memberi izin pembukaan kantor HAM PBB.
Penggiat HAM internasional berulang kali mengecam UU Kewarganegaraan Myanmar 1982 yang diskriminatif terhadap minoritas Muslim Rohingya karena UU itu menghapus kelompok itu dari daftar 130 minoritas yang diakui. Mereka mendesak agar UU itu diamendemen.
Sekitar 800 ribu warga Rohingya tinggal di negara bagian Arakan, utara Myanmar. Hak-hak asasi mereka dirampas otoritas lokal yang membatasi gerak dan akses ke layanan kesehatan maupun pendidikan.
Pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara dan menyebutnya sebagai “Bengalis”, sebagai anggapan bahwa mereka imigran ilegal asal negeri tetangga, Bangladesh.
IRRAWADDY | NATALIA SANTI
Penyadapan Australia | Vonis Baru Angelina | Adiguna Sutowo | Topan Haiyan | SBY Vs Jokowi
Berita Terpopuler
Polisi: Adiguna Tak Berbohong
Dokter Disiram Kopi, Ini Penjelasan RS Husada
Ini Kondisi Rumah Bos Angkot Penyekap 2 Gadis
Jokowi Bawa PM Belanda Blusukan ke Waduk Pluit
Vika Cabut Laporan, Kasus Flo Jalan Terus