TEMPO.CO, Dili - Pemerintah Timor Leste menganggap pers di negaranya masih kurang baik dalam hal profesionalisme, akurasi, dan pemahaman etika. Oleh karena itu, pemerintah menilai undang-undang di bidang pers perlu dibuat, salah satunya untuk menghukum pelanggar etika jurnalistik.
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kini tengah digodok oleh parlemen Timor Leste, tulis Al Jazeera, bisa memberlakukan pembatasan yang sangat ketat dan mengatur secara detail, termasuk siapa saja yang bisa menjadi seorang jurnalis. Di dalamnya juga berisi ketentuan bagaimana pelanggaran etika jurnalistik harus ditangani.
Baca Juga:
Politikus yang juga mantan perdana menteri Mari Alkatiri mendukung RUU harus segera disahkan. "Media adalah kekuatan. Setiap kekuasaan harus memiliki beberapa batasan," kata Alkatiri dalam sebuah wawancara di kantornya di Dili.
"Jika politikus melakukan kesalahan, dia harus bertanggung jawab atas kesalahannya. Jika sebuah perusahaan membuat kesalahan, mereka harus bertanggung jawab. Tapi wartawan di sini, tidak. Mereka bebas untuk berbuat kesalahan, karena mereka adalah wartawan," katanya.
Dalam beberapa pekan terakhir Menteri Komunikasi Sosial Nelio Isaac Sarmento mengunjungi Indonesia dan Portugal untuk membahas cara-cara untuk memperkuat industri media negaranya. "Hampir semua wartawan muda mulai bekerja setelah lulus. Mereka langsung memasuki dunia profesi itu dengan pelatihan hanya satu atau dua minggu. Itu tidak cukup," katanya.
Sarmento, seperti dikutip Diario Nacional, mengatakan harus ada konsekuensi bagi mereka yang berlatih jurnalisme tanpa mandat yang tepat. "Sanksi akan diberikan kepada orang-orang yang mengatakan bahwa mereka adalah wartawan (tapi tak profesional). Hukum media dan kode etik akan digunakan bagi yang melanggar hukum," katanya .
Tapi di era jurnalisme warga, RUU itu merupakan ancaman bagi kebebasan pers. Toby Mendel dari Centre for Law and Democracy yang berbasis di Kanada menyatakan pemerintah tak perlu masuk terlalu dalam di dunia jurnalistik. "Hal yang penting untuk dimasukkan ke dalam sistem adalah meningkatkan profesionalisme media, termasuk melalui sistem pengaduan bagi anggota masyarakat," ujar Mendel.
Ia menyatakan, pengawasan masyarakat justru lebih efektif. "Menurut hukum internasional, sistem self-regulatory yang dijalankan oleh media itu sendiri dianggap lebih tepat daripada sistem hukum," katanya.
Keluhan tentang kinerja media tersebar luas di Timor Leste. Wartawan --sebagian besar masih muda-- di negara yang lebih dari 60 persen penduduknya berusia di bawah 18 tahun itu mengeluhkan kurangnya pelatihan dan pendampingan. Akibatnya, aturan dasar jurnalistik --seperti mengkonfirmasikan informasi, memisahkan fakta dari opini, dan memberitahu semua sisi cerita-- tidak diindahkan.
Dari sisi media, tingginya angka buta huruf di atas 40 persen adalah tantangan tersendiri. Selain itu, beragamnya bahasa dan dialek di negeri itu membuat mereka kesulitan menentukan bahasa mana yang akan digunakan untuk media. Portugis dan Tetum adalah bahasa resmi negara, namun sekitar dua lusin bahasa dan dialek lain juga diucapkan.
"Pembaca kami tidak berbicara dengan bahasa yang sama," kata Mariano Martins, yang menulis untuk situs Timoroman.
Al JAZEERA | TRIP B