Jejak Indonesia dalam penyelesaian konflik di Filipina Selatan dimulai lebih dari dua dekade lalu. Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia 2001-2009, Hasan Wirajuda, keterlibatan Indonesia bermula saat Filipina dan MNLF meminta Indonesia secara resmi menjadi mediator pada 1993.
Keduanya sebenarnya sudah mencapai kata sepakat untuk berdamai dengan bantuan mediasi dari Libya, salah satu negara anggota OKI. Libya, di bawah Muammar Qadafi, berhasil mendorong kedua belah pihak untuk menandatangani Kesepakatan Tripoli pada 23 Desember 1976. Inti kesepakatan itu adalah, MNLF bersedia menerima otonomi dan tidak ada lagi tuntutan merdeka seperti sebelumnya.
Hanya, kata Hasan, kesepakatan yang dibuat antara MNLF dan pemerintah Filipina di bawah Fidel Ramos itu tak ditindaklanjuti. Akibatnya, bentrokan bersenjata tetap terjadi di lapangan karena tidak ada gencatan senjata. Pemerintah Filipina lantas meminta Indonesia menjadi mediator.
"Ketika pemerintah Filipina meminta, kita tidak serta-merta menerima. Kita tidak mau hanya diminta oleh satu pihak, tapi harus semuanya, termasuk OKI yang dulu memfasilitasi," kata Hasan, yang saat itu menjabat Direktur Organisasi Internasional, Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri. Saat pertemuan di Cipanas, Jawa Barat, pada 14-16 April 1993, semua pihak memberikan mandat kepada Indonesia untuk memfasilitasi pertemuan antara MNLF dan Filipina.
Tiga Tingkatan Perundingan...