TEMPO.CO, KOTA ZAMBOANGA—Pertempuran kembali bergolak antara pasukan pemerintah dan pemberontak Fron Pembebasan Nasional Moro (MNLF) di Kota Zamboanga, wilayah selatan Filipina, Sabtu 14 September 2013. Pertempuran ini menghentikan gencatan senjata yang sempat disepakati antara Wakil Presiden Filipina, Jejomar Binay, dengan pemimpin MNLF, Nur Misuari melalui telepon semalam.
Namun juru bicara militer Filipina, Letnan Kolonel Ramon Zagala menegaskan pihaknya tidak mengetahui adanya gencatan senjata itu. “Kami tidak menerima perintah apapun. Kami tetap meneruskan operasi militer kecuali diperintahkan sebaliknya,” kata Zagala.
Juru bicara presiden, Abigail Valte, menyatakan kepada wartawan di ibu kota Manila, 850 kilometer sebelah utara Zamboanga, bahwa gencatan senjata tidak pernah terjadi. Valte menuding pasukan pemberontak melanggar kesepatan itu dengan melancarkan serangan beberapa saat setelah gencatan senjata dilakukan.
Pasukan Filipina menyatakan 53 orang tewas, 43 diantaranya adalah anggota pemberontak, dalam pertempuran yang telah berlangsung selama enam hari. Baik Presiden Benigno Aquino maupun Wakil Presiden Binay, kini berada di Kota Zamboanga untuk memantau secara langsung kondisi terakhir.
Puluhan orang terluka dan sekitar 62 ribu penduduk kini terpaksa mengungsi. Selain takut akan serangan pemberontak, banyak warga yang kehilangan rumah. Warga yang mengungsi kini menempati lokasi-lokasi pengungsian sementara. Tetapi pekerja sosial melaporkan sejumlah warga yang terjebak di dua gedung sekolah kini sudah kehabisan pasokan makanan dan air bersih.
Hingga berita ini diturunkan, pasukan pemberontak masih terus melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah dan menjadikan warga sipil sebagai tameng hidup.
Kekerasan di Mindanao, pulau paling selatan Filipina, sejatinya telah berlangsung selama empat dekade terakhir. Sekitar 120 ribu orang tewas dan dua juta penduduk terpaksa mengungsi selama masa tersebut. Kelompok muslim yang menjadi mayoritas di daerah tersebut menilai pemerintah yang berasal dari mayoritas Katolik melakukan diskriminasi terhadap mereka.
L REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI