TEMPO.CO , Seoul: Mantan narapidana penjara Korea Utara memaparkan kengerian yang dialaminya selama menjadi tahanan di negaranya. Shin Dong-hyuk, sang tahanan memaparkannya di depan panel Komisi Penyelidikan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Seoul, Korea Selatan. "Saya merasa beruntung hanya jari saya yang dipotong,” ujar Shin Dong-hyuk, Selasa, 20 Agustus 2013 waktu setempat. “Saya pikir seluruh lengan saya juga akan dipotong."
Shin Dong-hyuk mengaku dipenjara karena 'hanya' merusakkan sebuah mesin jahit. Dong-hyuk bersama sejumlah mantan narapidana lain kini tinggal di Korea Selatan. Mereka mengaku penjara negara di utara Semenanjung Korea itu amat mengerikan.
Tak hanya potong jari, banyak tahanan dipaksa memakan kodok sebagai makanan harian, hingga yang paling mengerikan, seorang tahanan wanita disuruh membunuh bayinya. "Semua tahanan bermata cekung, persis seperti binatang,” kata Jee Heon-a, mantan tahanan lain. “Kami disuruh memakan kodok yang digarami."
Jee Heon-a juga mengungkapkan kepada penyidik Komisi Khusus PBB itu bahwa ia menjadi saksi mata pembunuhan seorang bayi oleh ibunya yang menjadi tahanan di dalam penjara. "Aku melihatnya lahir dan ikut bahagia,” kata dia. “Lalu sipir datang dan menyuruh sang ibu menenggelamkan anaknya di sebuah wadah penuh air.”
Ia melihat tahanan itu memohon sipir untuk tidak memintanya membunuh bayi itu. Sipir lalu memukulinya. "Akhirnya dengan tangan gemetar, ia menenggelamkan bayinya sendiri," ujar Heon-a.
Saat ini sekitar 150-200 ribu tahanan mendekam dalam penjara di penjuru Korea Utara. Kedua mantan narapidana yang berhasil lari ke Korea Selatan memperjuangkan nasib kawan-kawan satu selnya dengan berbicara lewat Komisi Penyelidikan PBB. Ini merupakan kali pertama PBB mendengar secara resmi pelanggaran HAM di negara yang dipimpin Kim Jong-un itu.
"Masih banyak hal yang harus dibongkar di sana (Korea Utara)," ujar Dong-hyuk yang percaya bisa melawan dengan menyampaikan fakta-fakta di forum dunia. "Tak seperti di Libya dan Syria. Di Korea Utara, warga tak bisa melawan dengan senjata, karena kami tak punya. Ini adalah harapan pertama dan terakhir kami."
THE GLOBE AND MAIL | ANDI PERDANA