TEMPO.CO,Berlin—Potensi diaspora Indonesia hingga kini masih dipadang sebelah mata terutama oleh birokrat Tanah Air. Dalam forum diaspora Indonesia di Jerman yang digelar di Gedung KBRI Berlin, Sabtu 25 Mei 2013, terungkap kisah sedih warga diaspora yang ditolak ketika hendak menyumbangkan keahliannya di Indonesia.
Bukan cuma lantaran birokrasi, tetapi tidak sedikit kepala daerah yang tidak mau berurusan dengan orang Indonesia yang sudah merubah status kewarganegaraannya. Mereka dianggap pengkhianat. Padahal bantuan yang diberikan gratis.
LT Tan, ahli bedah plastik asal Surabaya, yang kini menjadi warga negara Belanda berkisah pernah dicibir dokter di Pematang Siantar, Sumatera Barat saat menggelar operasi bibir sumbing secara gratis. “Saya dianggap memberikan bantuan yang sia-sia,” kata Tan dalam konferensi yang dibuka Duta Besar RI di Jerman, Eddy Pratomo.
Namun Tan akhirnya berhasil meski melalui masa sulit berkat pendekatan yang sabar dan benar. Anggota tim dokter yang seluruhnya merupakan warga Belanda sempat ditangkap polisi. “Saya berhasil mengoperasi 16 anak per hari. Dan orang-orang Belanda itu senang dengan keramahan dan suguhan kue-kue Indonesia, mesti tidak dibayar,“ ujar Tan.
Wahid Supriyadi, Staf Ahli Ekososbud Kementerian Luar Negeri yang juga menjabat sebagai Kepala Desk Diaspora Indonesia, mengakui perlunya mengubah cara pandang tentang warga diaspora. “Nasionalisme tidak diukur dari pendekatan legalistik semacam kepemilikan paspor, tetapi lebih kepada pendekatan kultural,” tuturnya.
Ia pernah bertemu seorang wanita keturunan Indonesia di pelosok Australia saat menjadi diplomat bidang konsuler di Canberra. Perempuan itu gigih mengajarkan bahasa Indonesia tanpa bayaran, sampai-sampai kepopuleran bahasa Indonesia berhasil mengungguli bahasa Italia.
“Di mata saya wanita itu nasionalis dibandingkan koruptor di Indonesia,“ ungkapnya di depan forum yang dihadiri puluhan ilmuwan Indonesia yang datang dari berbagai kota di Jerman itu.
Sementara ini diaspora dikategorikan sebagai masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri dengan tidak memandang status hukumnya, keturunan atau suku. Termasuk orang asing yang cinta Indonesia dan banyak memberi sumbangsih untuk kepentingan Indonesia.
Duta Besar AmerikaSerikat Dino Pati Djalal, pemrakarsa Kongres Diaspora Indonesia pertama di Los Angeles tahun lalu, memberi contoh istri bekas duta besar Amerika di Jakarta Paul Wofowitz yang selalu tampil dengan pakaian batik dan cakap berbahasa Jawa sebagai cerminan keterikatannya pada negara Indonesia.
Sayangnya hingga kini Indonesia tidak memperhitungkan potensi diaspora Indonesia. Padahal dari hampir 5 juta warga diaspora dari berbagai keahlian yang tersebar di 167 negara, sebagian besar merupakan profesional yang sukses di bidangnya.
Sebagai ilustrasi, seperti dikutip Dino, menurut riset sosial dan demografi Amerika Serikat, pendapatan rata-rata diaspora Indonesia di negara itu mencapai US$59 ribu per tahun, atau lebih tinggi US$10.000 dibanding pendapatan rata-rata penduduk AS yang 49,777 USD. Dengan lugas Djalal mengatakan, “Diaspora bisa menjadi kekuatan ekonomi baru dan fenomena global.“ Di Amerika sendiri ada 150 ribu diaspora, dan ini menjadi “human capital“ yang potensial.
Diaspora Indonesia memang masih dalam bentuk “desk“ di Kementrian Luar Negeri. Tidak seperti Cina atau India yang sudah menjadi kementerian sendiri, sehingga remittance diaspora di kedua negeri ini amat tinggi. Namun Wahid yakin diaspora Indonesia cepat atau lambat akan diakui potensinya sebagai kekuatan ekonomi Indonesia yang baru. Wahid menyebut kemungkinan pemberlakuan dwi kewarganegaraan dan multi entry visa. Dan ini menjadi salah satu agenda penting yang akan dibahas dalam Kongres Diaspora Indonesia di Jakarta Agustus mendatang.
L Sri Pudyastuti Baumeister (Berlin)