TEMPO.CO, Washington - Pemerintah Presiden Barack Obama telah memutuskan untuk memberikan kontrol terhadap Pentagon untuk beberapa operasi pesawat tak berawak (drone) yang menargetkan teroris di luar negeri yang saat ini dijalankan oleh dinas rahasia CIA (Central Intelligence Agency). Soal ini disampaikan sejumlah sumber di pemerintahan Obama, Senin 20 Mei 2013.
Obama sebelumnya menjanjikan untuk lebih transparan dalam program kontraterorisme yang kontroversial, dan memberikan Pentagon tanggung jawab untuk sebagian dari program drone sehingga dapat membuka peluang Kongres untuk melakukan pengawasan lebih luas.
Obama rencananya akan berpidato Kamis 23 Mei 2013 di Universitas Pertahanan Nasional di Washington. Ia akan memberikan pejelasan atas sejumlah isu-isu krusial, termasuk soal penggunaan drone serta nasib penjara Guantanamo, Kuba. Tidak jelas apakah dia akan mengumumkan pengalihan program drone tersebut dalam pidato itu atau secara terpisah.
Empat sumber di pemerintah Amerika mengatakan kepada Reuters bahwa keputusan telah dibuat untuk mengalihkan operasi pesawat tak berawak CIA ke Departemen Pertahanan. Pengalihan ini akan dilakukan secara bertahap.
Serangan drone di Yaman, di mana militer AS sudah melakukan operasi dengan militer Yaman, akan dijalankan oleh Pentagon. Sedangkan untuk program serangan drone di Pakistan, akan terus dilakukan oleh CIA. Alasannya, kata sumber itu, ini untuk menjaga kerahasiaan program serta kebutuhan penyangkalan oleh kedua negara. Tujuan akhirnya, kata seorang pejabat AS yang tak mau disebut namanya, pemerintahan Obama akan mentransfer operasi drone di Pakistan kepada Pentagon.
Perdebatan internal di dalam pemerintahan mengenai pengalihan kendali serangan pesawat tak berawak kepada militer ini telah berlangsung berbulan-bulan. Kini Obama juga berada di bawah tekanan untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya transparan, setelah adanya serangkaian skandal terkait isu kebebasan sipil yang mengemuka pekan lalu.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih dan juru bicara CIA menolak mengomentari soal ini.
Reuters | Abdul Manan