TEMPO.CO, Canberra - Agen dinas rahasia Israel Mossad, Ben Zygier dianggap bertanggung jawab atas salah satu pelanggaran keamanan yang paling serius dalam sejarah Israel. Seperti dilaporkan Sidney Morning Herald 25 Maret 2013, pelanggaran ini berujung pada penangkapan dan pemenjaraan dua informan paling berharga Israel di Libanon.
Setelah penyelidikan berbulan-bulan yang diprakarsai oleh Fairfax Media dan diselesaikan oleh tim wartawan majalah Der Spiegel, Jerman, terungkap bahwa mata-mata kelahiran Australia yang akhirnya tewas bunuh diri itu telah dikelabui oleh permainan agen ganda yang membuatnya berakhir tragis.
Tidak dapat menanggung rasa malu atas kegagalannya, dan akan menghadapi hukuman minimal 10 tahun penjara tanpa masa depan bisa kembali ke Mossad, Zygier mengakhiri hidupnya pada 15 Desember 2010. Ia melakukan aksinya itu hanya beberapa jam setelah melakukan panggilan telepon terakhir dengan ibunya, Louise, di Melbourne.
"Zygier ingin mencapai sesuatu yang ia tidak dapatkan juga akhirnya,'' kata seorang pejabat Israel yang mengetahui penyelidikan atas kasus Zygier ini. ' Lalu ia berakhir di jalan setapak. Dia mencoba menyeberangi jalan dengan seseorang yang jauh lebih profesional daripada dia.''
Zygier direkrut Mossad pada awal tahun 2004. Ia memperoleh kewarganegaraan Israel pada pertengahan 1990-an. Tugas pertamanya dari Mossad adalah ke Eropa, untuk menyusup di perusahaan yang memiliki hubungan bisnis dengan negara-negara yang bermusuhan dengan Israel, khususnya Iran dan Suriah.
Menurut kepala eksekutif dari salah satu perusahaan yang disusupi Zygier, saat kegiatan mata-mata ini mulai terbentuk, tapi ia dianggap tak memiliki fokus. Ketika Zygier mulai bersikap gegabah terhadap klien, biaya dan bisnis penting perusahaannya, akhirnya keputusan dibuat untuk membiarkannya pergi.
Tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan, Zygier ditarik dari lapangan dan ditugaskan di belakang meja di Tel Aviv. Ini yang dianggap sebagai pukulan psikologis yang menjadi awal dari kegagalannya.
Dalam upaya untuk meningkatkan reputasinya di tengah suasana yang sangat kompetitif di Mossad, dan ia ingin kembali ke perannya dalam operasi, Zygier memulai misi nakal tanpa memberitahu atasannya.
Tahu informasi seputar identitas seorang pria dari Eropa Timur yang dikenal dekat dengan kelompok Hizbullah di Lebanon, Zygier mengatur pertemuan dengannya menjelang akhir tahun 2008. Tujuannya adalah menjadikannya sebagai agen ganda, yang diharapkannya bisa menyampaikan informasi tentang kegiatan Hizbullah kepada Mossad.
Hanya saja, yang terjadi adalah sebaliknya. Zygier malah menjadi saluran informasi dari Tel Aviv ke markas Hizbullah di Beirut. Kontak antara keduanya berlangsung selama berbulan-bulan, dan agen dari Eropa timur itu berulang kali menuntut Zygier membuktikan kehebatannya sebagai agen Mossad. Zygier memenuhi tantangan itu dengan menyerahkan nama dua informan Israel di Lebanon, yaitu Ziad al-Homsi dan Mustafa Ali Awadeh.
Keduanya ditangkap pada musim semi tahun 2009, dan menggagalkan kesempatan Israel untuk menyerang pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah. Masing-masing dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan menjalani kerja paksa.
Saat Zygier ditangkap pada 29 Januari 2010, ia terlihat membawa compact disc berisi file intelijen yang diyakini akan diserahkan ke kontak Hizbullah-nya.
Dihadapkan dengan tuduhan bahwa ia menyampaikan informasi sensitif ke pihak musuh, Zygier mengakuinya sejak awal. Ketika negosiasi soal besaran hukuman, jaksa Israel menawarkan bahwa ia akan didakwa dengan tidak kurang dari 10 tahun penjara dengan fasilitas keamanan maksimum. Hukuman ini terbukti terlalu berat untuk ditanggung Zygier sehingga ia akhirnya mengakhiri hidupnya.
Juru bicara Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr menolak mengomentari kasus ini. ''Sesuai dengan praktek sebelumnya, kita tidak bisa mengomentari masalah-masalah intelijen,"katanya.
Pejabat pemerintah Israel juga bersikap sama. "Kami tidak berkomengtar dalam kasus itu dan kebijakan tersebut tak berubah,'' kata Mark Regev, juru bicara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Sidney Morning Herald | Abdul Manan