TEMPO.CO, Dubai - Ancaman pembunuhan tak menyurutkan langkah mantan Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, kembali ke kampung halaman, Minggu. Setelah mengasingkan diri selama empat tahun, jenderal berusia 69 tahun itu mengaku siap menghadapi segala risiko untuk bertarung dalam pemilihan umum pada 11 Mei mendatang.
“Duduk di kursi pesawat, mengawali perjalanan pulang. Pakistan First!” demikian cuitan di akun Twitter, @P_Musharraf, lengkap dengan fotonya mengenakan pakaian tradisional shalwa kameez warna putih kekuningan.
Musharraf berkuasa setelah melancarkan kudeta tak berdarah saat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata tahun 1999. Ia menjadi presiden ke-10 Pakistan pada Juni 2001-Agustus 2008. Ia meninggalkan Pakistan, saat Presiden Asif Ali Zardari terpilih menjadi presiden setelah pembunuhan istrinya, mantan Perdana Menteri Pakistan, Benazir Bhutto.
Menumpang pesawat Emirates Arab, Musharraf mendarat di Karachi, Minggu siang. Ia disambut ratusan mendukungnya. Kepada wartawan, dia mengaku tidak gentar walaupun menyimpan beberapa kekhawatiran atas ancaman pembunuhan dari kelompok Taliban.
“Saya merasa khawatir atas hal-hal yang tidak saya ketahui, faktor terorisme dan ekstremisme, masalah hukum, atau seberapa besar performa saya dalam pemilu,” ucapnya.
Hanya beberapa jam sebelum kepulangan Musharraf, sebuah bom yang ditaruh di mobil tangki air menyeruduk pos pemeriksaan di Distrik Waziristan Utara menewaskan 17 tentara. Belum ada yang mengaku bertanggung jawab, tapi Waziristan Utara adalah benteng Taliban dan pusat operasi Al-Qaidah.
Ketika menjadi presiden, Musharraf lolos dari tiga upaya pembunuhan oleh Al-Qaidah. Ia dituding bekerja sama dengan Amerika Serikat setelah serangan 11 September di New York.
Selain itu, Musharraf dianggap bertanggung jawab atas banyak kekerasan selama ia menjadi presiden. Pada Juli 2007, dia memerintahkan pasukan menyerbu masjid radikal di Islamabad. Operasi tersebut menewaskan lebih dari 100 orang.
Bilawal Bhutto Zardari, yang kini menjadi Ketua Partai Rakyat Pakistan, menuduh Musharraf membunuh ibunya Benazir. Laporan PBB pada 2010 menyebutkan, kematian Bhutto seharusnya bisa dicegah dan menuduh pemerintah Musharraf gagal memberikan perlindungan. Sedangkan pemerintah menyalahkan Taliban Pakistan.
Selain soal kasus kematian Bhutto, Musharraf diincar pengadilan atas kasus kematian Akbar Bugti, pemimpin pemberontak Balukistan tahun 2006, serta pemecatan dan penahanan hakim-hakim secara ilegal pada 2007.
HINDUSTAN TIMES | BBC | NATALIA SANTI