TEMPO.CO, KAIRO — John Kerry tiba di Mesir akhir pekan lalu sebagai sebagai negara Arab pertama yang ia kunjungi sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat yang baru. Kerry yang menggantikan Hillary Clinton, berupaya merangkul seluruh elemen yang kini tengah berseteru di Mesir.
Selain bertemu Menteri Luar Negeri Mesir, Mohammed Kamel Amr, Kerry juga menerima sejumlah utusan oposisi. Dalam pertemuan dengan kelompok anti-Presiden Muhammad Mursi, Kerry menegaskan dirinya ingin membantu Mesir sebagai mitra utama Amerika Serikat di Jazirah Arab.
“Dengan rasa malu dan hormat, perjalanan demokrasi memang membutuhkan pengorbanan dari pemimpin Mesir dan masyarakat madani. Persis seperti yang sedang kami alami di dalam negeri,” kata Kerry merujuk gagalnya pembahasan anggaran federal di Negeri Abang Sam.
Namun ia mendesak pemerintah maupun oposisi untuk melakukan rekonsiliasi demi perbaikan ekonomi Mesir yang berada di titik nadir. “Sangatlah penting bagi Mesir untuk memperbaiki ekonomi agar dapat kembali berdiri di atas kaki sendiri. Jika Mesir bangkrut, maka negara ini akan menghadapi masalah luar biasa,” Kerry menegaskan.
Ia membujuk Mesir untuk segera menyelesaikan perjanjian reformasi ekonomi dengan Dana Moneter Internasional. Jika kesepakatan dengan IMF berhasil tercapai, Mesir akan memperoleh bantuan sebesar US$4,8 miliar atau Rp 46 triliun yang sangat dibutuhkan untuk membiayai sejumlah program bagi masyarakat miskin. Selain itu, kesepakatan dengan IMF akan memberikan kesempatan bantuan dari Amerika Serikat.
Kehadiran Kerry disambut unjuk rasa kubu liberal yang menudingnya menjadi pendukung Mursi. Bahkan beberapa tokoh oposisi menolak hadir dalam pertemuan di Kedutaan Amerika Serikat di Kairo. Namun Kerry tetap optimistis seluruh pihak di Mesir dapat menyingkirkan perbedaan demi perbaikan ekonomi.
Sementara itu, pengadilan Mesir menetapkan tanggal 13 April sebagai hari pengadilan ulang terhadap bekas diktator Husni Mubarak, kedua anak serta sejumlah kroninya.
Sejatinya Mubarak telah memperoleh vonis penjara seumur hidup atas pembunuhan demonstran yang menumbangkan kekuasaannya. Tapi pengadilan Kairo memberi kesempatan untuk melakukan pengadilan ulang. Langkah ini diprediksi akan meningkatkan ketegangan menjelang pemilihan umum yang digelar sembilan hari setelah sidang tersebut.
L NPR | AP | REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI