TEMPO.CO, Kota Kuwait—Setelah berhenti selama lebih dari dua dekade, maskapai negara Irak, Iraqi Airways, Rabu 27 Februari 2013, kembali mendarat di bandara internasional Kota Kuwait di Kuwait. Hubungan kedua negara memburuk sejak bekas Presiden Saddam Hussein menginvasi negara tetangganya itu pada 1990.
“Penerbangan ini menunjukkan bahwa Irak mulai terbuka, terutama pada Kuwait. Saya yakin hubungan ini menuju masa depan yang lebih baik bagi kedua negara,” kata Karim al-Nuri, penasihat media Kementerian Luar Negeri Irak dari bandara Kota Kuwait.
Menteri Luar Negeri Irak, Hoshyar Zebari, dan Menteri Transportasi Irak, Hadi al-Amiri, turut serta dalam penerbangan bersejarah tersebut.
Wakil General Manajer Iraqi Airway, Majid al-Amiri, dalam kesempatan terpisah mengungkapkan peristiwa ini menjadi momentum penting terjalinnya kembali hubungan transportasi kedua negara. Sejak hari ini, maskapai Iraqi Airways akan bertolak tiga kali dalam sepekan dari Baghdad, Najaf dan Erbil. “Semuanya terbang menuju Kota Kuwait,” tutur Al-Amiri.
Kerjasama penerbangan kedua negara kembali terjalin setelah perundingan cukup panas berlangsung tahun lalu. Setelah kunjungan antara perdana menetri Irak dan Emir Kuwait ke negara tetangga, kedua negara tersebut sepakat dalam pembayaran utang Irak pasca-invasi.
Desember lalu, maskapai Kuwait menghentikan tuntutan hukum terhadap Iraqi Airways dengan janji akan memperoleh kompensasi sebesar US$500 juta atau Rp 4,8 triliun.
Selama ini hanya ada satu penerbangan kecil swasta yang melayani penerbangan langsung kedua negara tetangga. Namun mayoritas maskapai besar terpaksa transit di Kota Dubai sebelum bertolak ke ibu kota kedua negara.
L REUTERS | AL-ARABIYA | SITA PLANASARI AQUADINI