TEMPO.CO, Tunis - Akhir tahun lalu, Presiden Tunisia Moncef Marzouki memberikan wawancara kepada Chattam House, lembaga pemikir untuk isu-isu internasional yang berkantor pusat di London, Inggris. Dalam salah satu petikan wawancaranya, ia mengomentari serangan Salafi, kelompok ultra-konservatif Sunni, ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tunis, 12 September 2012 lalu.
"Kami belum menyadari seberapa berbahaya dan kekerasan yang akan dilakukan Salafi ini... Mereka adalah minoritas kecil dalam kelompok kecil minoritas. Mereka tidak mewakili masyarakat atau negara. Mereka tidak bisa menjadi bahaya nyata bagi masyarakat atau pemerintah, tetapi mereka bisa sangat berbahaya bagi citra pemerintah, " kata Marzouki.
Melihat perkembangan yang terjadi kemudian di Tunisia, sejumlah orang menilai Marzouki salah. Setelah terjadi pembunuhan terhadap pemimpin oposisi Chokri Belaid 6 Februari lalu, yang diduga dilakukan oleh kelompok Salafi, ancaman destabilisasi akibat kekerasan dari kelompok garis keras ini mulai dianggap sebagai masalah mendesak dan berbahaya. Salafi Jihad, yang disebut penganut kekerasan, adalah satu dari dua kelompok yang dicurigai bertanggungjawab atas pembunuhan Belaid itu.
Kaum kiri menuduh salafi ini berafiliasi ke Ennahda, partai Islam moderat yang sedang berkuasa. Ennahda menyangkal punya hubungan dengan kelompok yang dilarang di Tunisia saat Zine El Abidine Ben Ali berkuasa. Salafi di Tunisia menjadi semakin vokal sejak revolusi 2011 yang menjatuhkan Ben Ali, yang juga menandai munculnya revolusi di dunia Arab --yang dikenal dengan Arab Spring.
Kebangkitan kelompok Salafi Jihad ini tak hanya ada di Tunisia. Fenomena serupa juga ditemukan di Mesir, Libya, dan Suriah. Ketiganya adalah negara yang dihinggapi angin Arab Spring. Di Mesir, revolusi berujung pada jatuhnya Husni Mubarak. Di Libya, revolusi itu berujung pada jatuhnya rezim Muammar Ghadafi. Di Suriah, saat ini masih terjadi pemberontakan bersenjata dari kelompok oposisi terhadap Presiden Bashar al-Assad.
Di Mesir pekan lalu, terungkap bahwa ulama garis keras Mahmoud Shaaban muncul di saluran televisi keagamaan dan menyerukan kematian terhadap tokoh utama oposisi, Mohammed ElBaradei, dan mantan calon presiden Mesir, Sabahy Hamdeen. "Kami sudah mulai melihat ancaman nyata," kata Shadi Hamid, direktur penelitian di Brookings Doha Centre, pekan lalu. Di Libya, Salafi dan kelompok lain terlibat dalam serangkaian serangan, termasuk terhadap Konsulat AS di Benghazi 11 September 2012 yang menewaskan Duta Besar AS di Libya, Christopher Stevens.
Di antara negara-negara yang berhasil menjatuhkan pemimpin otoriter mereka saat Arab Spring, Tunisia menghadapi tantangan terbesar dalam transisi dari Salafi yang terinspirasi gerakan jihadisme. Meski ada juga kelompok Salafi yang menganut garis non-kekerasan, tapi lainnya melakukan serangan, pembakaran terhadap kuil bersejarah, pengeboman kantor serikat buruh, demonstrasi menentang kegiatan seni, dan menyerang tempat penjualan alkohol di luar Tunis, dan menyerbu kedutaan AS di Tunis.
Ini menjadi masalah bagi Ennahda karena lawan-lawan politik sekulernya menduga partai islam ini diam-diam memiliki rencana dengan kelompok Salafi ini untuk melakukan "re-Islamisasi" Tunisia. Zied Ladhari, anggota parlemen dari Ennahda mengatakan, masalah Salafi ini bagian nyata dari warisan era Ben Ali dan "harus ditangani dengan kongkret".
Bagi Ennahda, menghadapi kelompok garis keras ini merupakan tantangan tersendiri. Sikap lebih keras seperti dilakukan Ben Ali dikhawatirkan akan membuat gerakan ini lebih luas. Inilah yang membuat Ennahda berusaha berdialog dengan mereka, meski tetap mengutuk "oknum" pelakunya. Tapi, kebijakan ini yang membuat Ennahda dituduh terlalu lunak.
Yasser el-Shimy, analis Mesir untuk Crisis Group mengatakan, aksi Salafi seperti di Tunisia kecil kemungkinannya bisa terjadi di Mesir. "Di Mesir, ada integrasi mendalam kelompok Salafi ke dalam proses politik segera setelah revolusi terjadi," kata Yasser.
Partai Nour, salah partai Salafi terbesar di Mesir, menyebut kolega mereka di Tunisia tidak terorganisir dengan baik dan tak memiliki ulama yang bisa mengajari mereka bagaimana menangani secara damai hal-hal yang tidak mereka sukai di negaranya. "Kita tidak akan melihat di Mesir apa yang kita lihat terjadi di Tunisia," kata Jurubicara Partai Nour, Nader Bakkar.
Guardian | Abdul Manan