TEMPO.CO, Kuwait City - Pengadilan Kuwait, Senin, 6 Januari 2013, menghukum Ayyad al-Harbi atas kicauannya di Twitter yang dianggap menghina penguasa. Ia dihukum dua tahun penjara. "Dia dituduh menghina pemerintah melalui cuitnya di Twitter," kata pengacara al-Harbi.
Hukuman itu dijatuhkan sehari setelah pasukan keamanan membubarkan demonstran anti-pemerintah dengan pentungan strum dan gas air mata. Para pengunjuk rasa menuntut agar negara-negara Teluk, termasuk Kuwait, memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat.
Dalam beberapa bulan ini, Kuwait dihadapkan dengan aksi politik melalui media sosial website dengan mengritik pemerintahan yang didominasi oleh klan keluarga.
Ayyad al-Harbi, yang memiliki follower lebih dari 13 ribu pengikut di Twitter, pernah mendekam dalam bui selama dua bulan, namun dibebaskan setelah mendapatkan jaminan. Selama ini al-Harbi menggunakan akun Twitter untuk mengritik pemerintah Kuwait dan emir Sabah al-Ahmad al-Sabah.
Koran online Alaan dalam laporannya mewartakan, pada Senin, 6 Januari 2013 lalu, Rashid Saleh al-Anzi, juga dibekap dalam bui selama dua tahun atas kicauannnya berjudul, "Menikam Hak dan Kekuasaan Emir."
Ayyad al-Harbi bukan satu-satunya korban dari kicauannya di Twitter. Pada Juni 2012, seorang pria dihukum 10 tahun penjara atas dakwaan membahayakan keamanan negara. Dia dianggap menghina Nabi Muhammad dan penguasa Arab Saudi serta Bahrain melalui media sosial.
Dua bulan terakhir ini, kata seorang aktivis, otoritas Kuwait menahan Meshaal al-Malik al-Sabah, seorang anggota keluarga penguasa. Meshaal menuliskan tuduhan penguasa telah korupsi melalui Twitter. Ia juga menyerukan reformasi politik.
Sikap keras penguasa Kuwait ini menimbulkan riak kritik dari komunitas internasional. Organisasi hak asasi internasional mengutuk pemerintah Kuwait karena membungkam tulisan aktivis di internet dan menyerukan agar segera membebaskan para tahanan politik.
AL AKHBAR | CHOIRUL