TEMPO.CO, Yangoon – Kelompok etnis pemberontak, Kachin, menuding tentara pemerintah Myanmar telah menyerang Laiza, kota yang dijadikan sebagai basis gerakannya. Menurut rilis resmi dari tentara Kaching, yang terpusat di utara Myanmar itu, markas mereka ditembaki pada Ahad pagi, 6 Januari 2013.
“Ada empat gelombang serangan,” kata juru bicara Tentara Pembebasan Kachin, La Nan, kepada Associated Press. Serangan Ahad lalu, ia menambahkan, “Merupakan serangan artileri kedua setelah 19 Desember lalu.”
La Nan memprediksikan serangan pemerintah ini bakal memicu ketegangan baru sejak pecahnya perjanjian damai antara pemberontak dan pemerintah 2011 lalu. Ya, Kachin dan pemerintah Myanmar hidup berdamai selama 20 tahun. Namun, pada 2011, sebuah insiden pecah lantaran pemberontak enggan meninggalkan pembangkit listrik tenaga air yang merupakan perusahaan patungan Myanmar dan Cina.
Saat itu 100 ribu orang Kachin dipaksa morat-marit keluar dari tempat tinggal gara-gara konflik kekerasan, hingga hidup serba kekurangan sampai sekarang.
Pemerintah Myanmar pimpinan Presiden Thein Sein menolak mengakui serangan-serangan selama ini. Menurut salah seorang pejabatnya yang enggan dikutip namanya, “Pemberontak sering berhalusinasi.”
Kachin, seperti layaknya etnis minoritas lainnya di Myanmar, terus mencari otoritas atas eksistensi mereka. Saat ini mereka adalah satu-satunya yang masih menjadi batu sandungan pemerintah Thein Sein, yang berniat melakukan reformasi di Myanmar.
AP | TELEGRAPH | SANDY INDRA PRATAMA