TEMPO.CO, Vatikan - Paus Benediktus XVI memimpin misa Malam Natal di St Peter Basilika Vatikan pada Senin, 24 Desember 2012, mulai pukul 10.00 malam waktu setempat. Paus menekankan sebuah pertanyaan teologis: “Apakah manusia akan menemukan ruang di tengah kesibukan--yang kehidupannya dikendalikan oleh teknologi—untuk anak-anak, kaum miskin, dan Tuhan?” katanya.
Paus juga berdoa agar rakyat Israel dan Palestina hidup dalam perdamaian dan kemerdekaan. Paus juga meminta umat beriman untuk berdoa bagi Suriah, Lebanon, dan Irak, yang porak-poranda akibat perang.
Misa biasanya dimulai pada tengah malam. Tapi, kali ini waktu misa diajukan agar Paus berusia 85 tahun itu memiliki waktu istirahat sebelum menyampaikan pidato Hari Natal pada tengah hari Selasa dari balkon pusat Basilika. Misa diawali dengan peniupan terompet sebagai simbol kabar gembira kelahiran Yesus di Bethlehem. Saat tengah malam, lonceng gereja terdengar di seluruh penjuru Roma. Sedangkan di Basilika terdengar alunan suara riang gembira dari paduan suara Vatikan.
Malam itu, Paus mengenakan jubah berwarna emas. Dia dipandu kedua pembantunya menuju altar utama di Basilika. Dia melambaikan tangan kepada para umat yang hadir dalam misa tersebut. Dalam homilinya, Paus mendorong manusia untuk merefleksikan apa yang mereka temukan di dalam kesibukan yang dikendalikan oleh teknologi. “Ada pertanyaan besar terkait dengan sikap kita terhadap kaum tunawisma, pengungsi, dan migran. Sungguhkah kita memiliki ruang untuk Tuhan? Apakah kita memiliki waktu dan tempat untuk-Nya?” katanya.
Menurut Paus, semakin cepat kita dapat bergerak, waktu menjadi lebih efisien, dan semakin sedikit waktu yang kita miliki. “Dan Tuhan? Pertanyaan Tuhan tidak pernah mendesak,” kata Benediktus.
Jika ruang untuk Tuhan tidak ada, kata dia, itu artinya tidak ada ruang yang yang lain, untuk anak-anak, kaum miskin, dan orang-orang asing. Dengan suara agar serak dan tampak lelah setelah dua jam upacara, Benediktus mengecam penyalahgunaan agama yang dalam sejarahnya telah membuat sejarah menderita. Keyakinan Tuhan Yang Maha Esa menjadi dalih untuk intoleransi dan kekerasan. Namun, dia menegaskan bahwa ketika Tuhan dilupakan atau bahkan ditolak, “Di sana tidak akan ada perdamaian.”
“Mari kita berdoa agar Israel dan Palestina dapat hidup dengan damai dalam satu Tuhan dan kebebasan,” kata Benediktus.
AP | WASHINGTON POST | NURHASIM