TEMPO.CO, Kilis - Abu Yasin Sakhran sedang tak berperang, Sabtu malam lalu, di Ye Doy Cafe, Kota Kilis, selatan Turki. Mulut komandan Tentara Pembebas Suriah dari khatiba atau grup perang Sokor Halap Alhak yang bertempur di Aleppo ini asik mengisap sisha, tembakau yang dibakar di tabung khusus dan diisap dengan selang. Semburan asapnya meruapkan sekitarnya dengan wangi apel. Tiga anak buahnya menemani Abu Yasin. “Saya sedang liburan,” kata pria 37 tahun yang malam itu mengenakan kemeja kotak dan jaket kulit cokelat itu.
Di tempat ini, warga Suriah yang menetap di Kilis, berkumpul tiap hari. Kilis berbatasan langsung dengan Bab al-Salama, perbatasan di utara Suriah yang sejak akhir Agustus lalu dikuasai pemberontak.
Setengah tahun terakhir, Kilis dibanjiri pengungsi dari Suriah. Kebanyakan adalah orang berduit. Mobil-mobil berpelat nomor Suriah—tertulis dalam bahasa Arab—terlihat di mana-mana. Di pusat Kota Kilis, mereka berjalan-jalan dan berbelanja. Kebanyakan menyewa rumah atau tidur di hotel. “Ada juga yang miskin dan sempat tinggal di taman. Pemerintah Turki membawa mereka ke pengungsian,” kata Sherwan Jahfer, penerjemah Tempo.
Tak semua datang melalui jalur resmi. Banyak juga yang menyeberang diam-diam melalui jalan-jalan tikus yang tak diawasi pemerintah Suriah. Gaya menyeberang ini melahirkan istilah-istilah baru di kalangan mereka yang selalu dikaitkan dengan penyelundup. Teh Turki yang bernama chai disebut kachachai atau teh penyelundup. “Rokok di sini juga disebut rokok penyelundup,” kata Sherwan.
Malam itu, dua puluhan laki-laki berkumpul di Ye Doy Cafe. Semuanya warga Suriah. Sambil mendengar lagu-lagu Suriah, mereka asyik bermain kartu. Beberapa di antaranya mengisap alahamara, rokok asli Suriah. “Setiap hari saya datang ke sini,” kata Mahmud Amaini, 45 tahun, bekas penjual perhiasan di Aleppo yang dipenjara 8 bulan karena ketahuan mendukung pemberontak.
Meski berada di tempat aman, tak tersentuh bom dan mortar, mereka masih membicarakan tanah airnya. Mahmud sempat lama berdebat dengan empat pria soal bagaimana menurunkan Presiden Bashar al-Assad. Menurut Mahmud, dari kafe ini kerap mengalir ide untuk membantu para gerilyawan. Menolak menyebut jumlahnya, ia mengaku setiap bulan menyisihkan duit bagi pemberontak. “Kami mencintai negeri kami,” katanya.
Abu Yasin Sakhran masih asyik dengan sisha-nya. Matanya beberapa kali menatap bendera hijau-putih-hitam dengan tiga bintang merah berukuran 2x3 meter yang dipaku di tembok Ye Doy Kafe. “Badan saya di sini, tapi hati saya di Aleppo,” katanya.
PRAMONO (KILIS)
Berita Terkait:
Brahimi Takut Suriah Seperti Somalia
PM Inggris Dukung Presiden Suriah ke Luar Negeri
Inggris Tawarkan Bantu Assad Cari Suaka
Sniper dan Sistem Buka-Tutup di Aleppo Suriah
Serangan Udara Jet Suriah, 20 Pemberontak Tewas