TEMPO.CO, Aleppo - Penerjemah merupakan salah satu pekerjaan "dadakan" yang muncul setelah perang berkecamuk di Suriah.
Selain memudahkan orang asing yang sedang bertugas di daerah itu, para penerjemah ini sekaligus menjadi penunjuk jalan atau pelobi supaya bisa masuk Suriah. Sesuai hukum ekonomi, mereka juga memasang tarif yang bermacam-macam, tergantung sulit-mudahnya permintaan pelanggan.
Seorang penerjemah yang ditemui Tempo mengaku bernama Ahmed, 27 tahun. Meski berasal dari Suriah, gayanya mirip Antonio Banderas. Rambutnya gondrong dan selalu digerai.
Ke mana-mana, ia selalu membawa jas hitam dan mengenakan kaus hitam dengan huruf "v" putih. Sudah tiga bulan ini dia tinggal di Hotel Istanbul, hotel kecil di Kota Kilis, yang berbatasan langsung dengan Suriah.
Setiap hari, Ahmed berkeliling di pusat Kota Kilis. Selain menawarkan diri menjadi penerjemah, ia juga menjajakan jasa masuk ke Suriah kepada sejumlah wartawan asing yang tersebar di empat hotel di Kilis. "Bisa legal, bisa ilegal,” katanya, Senin pekan lalu.
Bayarannya sekitar US$ 100 untuk melintasi perbatasan dan US$ 50 tiap dua jam untuk menerjemahkan. Setelah itu, temannya dari Suriah akan menjemput dan mengantar ke wilayah utara Suriah. Ahmed tidak mau mengantar masuk ke dalam Suriah.
Pengakuan pria yang hanya menyebutkan berasal dari timur Suriah ini, pemerintah Suriah mencarinya karena mendukung pemberontakan dengan meretas situs negara. Ahmed yang menambahkan “Java” di belakang namanya karena suka dengan kopi Jawa ini akhirnya meninggalkan keluarganya.
Tak hanya Ahmed. Di Hotel Istanbul, ada juga Hasan, pria Suriah. Karena bahasa Inggrisnya pas-pasan, Hasan hanya membantu mereka yang berbahasa Arab atau Turki. Di perbatasan, pusat media Azaz milik Tentara Pembebas Suriah juga menyediakan jasa pemandu dan penerjemah—biasa disebut fixer.
Alaaeddin salah satunya. Dengan biaya US$ 200-500, ia akan mengantar masuk ke Aleppo dengan mobil. Besar bayarannya tergantung lama dan jarak tempuh bepergian.
Tarif paling mahal dipasang oleh Yassir al-Hajj. Warga Suriah keturunan Amerika ini memasang biaya US$ 800 per hari. Ia mengaku pernah bekerja dengan kantor media internasional seperti CNN dan Associated Press.
“Saya mahal karena saya punya jaringan lebih luas dibanding yang lain,” katanya. Yassir juga membuka pusat media di Marea, dekat Azaz.
Di dalam Aleppo, ada juga pusat media yang didirikan Abdullah. Membayar US$ 100 per hari, wartawan bisa tinggal di sini. Fasilitasnya tak bagus-bagus amat. “Tak ada air. Jaringan wi-fi juga tak ada, hanya ada kabel untuk koneksi internet yang lambat,” kata Elena, wartawan asal Bulgaria, yang tidur di tempat Abdullah.
Biasanya, para penerjemah ini juga berfungsi sebagai sopir. Mereka kerap mengambil posisi di depan jurnalis sebelum masuk ke garis depan. Tapi, tak semuanya begitu.
“Saya pernah lihat ada penerjemah lari paling cepat waktu ada mortir. Setelah itu dia menangis ketakutan,” kata Sherwan Jahfer, mantan jurnalis Syria Today yang kini menjadi penerjemah di Kilis. “Dapat fixer jelek, ya begitu. Tergantung nasib saja,” katanya.
PRAMONO
Berita terpopuler lainnya:
Pacar Sewaan Ada di Jepang
Roket dari Mesir Hantam Israel
Pejabat Israel Bersumpah Lakukan ''Holocaust''
Ketua KPK: Tersangka Century Tunggu Besok di DPR
Fatah-Hamas Sepakat Bersatu Melawan Israel