TEMPO.CO , Jakarta: Indonesia bukanlah negara asing bagi Georg Witschel. Tiga puluh tahun lalu, ia menyambangi wilayah-wilayah di Indonesia dengan tas ransel. Witschel muda—yang masih duduk di bangku kuliah—menelusuri kawasan Irian Jaya, Sulawesi, Bali, dan Jawa ala backpacker.
“Saya merasakan kehangatan sambutan masyarakat Indonesia,” kata Witschel, saat ditemui Raju Febrian dan Sita Planasari Aquadini dari Tempo, Selasa tiga pekan lalu.
Karena itu, saat ia ditunjuk sebagai Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Witschel sangat bersemangat. Sesampainya di Jakarta, pria ramah ini menyempatkan diri belajar bahasa Indonesia dari seorang wanita Indonesia yang menikah dengan seorang dokter asal Jerman. Tak mengherankan jika ia menyapa kami dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar, meski hanya berlatih 20 kali.
Georg menjabarkan program dan harapannya. Berikut ini petikan wawancara dengan pria penggemar rendang dan pecel ini.
Bagaimana perasaan Anda menerima tugas di Indonesia?
Saya sudah dua kali mengunjungi Indonesia. Pertama 30 tahun yang lalu. Saat itu saya backpacker semasa masih mahasiswa. Kedua ketika saya menjabat Komisioner Combating Terorism Jerman. Saya menghadiri Konferensi Asia-Eropa di Akademi Kepolisian Semarang. Yang membuat saya terkesan adalah kehangatan sambutan masyarakat Indonesia.
Bagaimana Anda melihat kemajuan Indonesia sekarang?
Indonesia sudah berkembang sangat maju. Pada 30 tahun lalu, satu-satunya hotel besar di Jakarta adalah Hotel Indonesia. Selain itu, kemacetan jalan sangat jauh dibandingkan dulu. Namun, karena saya belum melihat Yogyakarta dan Ujungpandang (Makassar), saya belum bisa mengatakan apa-apa. Tapi pastinya kedua kota itu juga sangat berubah.
Sebagai duta besar baru Republik Federasi Jerman untuk Indonesia, apa program Anda?
Pada awalnya saya akan banyak belajar, mendengar, melihat, dan mengumpulkan informasi terlebih dulu tentang Indonesia—pada khususnya—dan ASEAN. Tetapi tentu saja tugas penting bagi saya bukan saja menunggu. Ada banyak sekali pekerjaan. Pada Juli lalu, Kanselir Jerman Angela Merkel berkunjung ke Jakarta dan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam kunjungan tersebut, kedua pemimpin menyepakati Deklarasi Jakarta—sebuah kesepakatan kerja sama yang lebih erat dalam delapan bidang: politik dan keamanan, perdagangan, investasi dan pembangunan, kesehatan, bidang sosial dan budaya, ilmu pengetahuan, lingkungan, perubahan iklim, kehutanan, serta energi terbarukan seperti juga kontak antarmanusia. Selama tiga tahun ke depan, Deklarasi ini menjadi panduan tugas saya.
Saya juga sudah menemui Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, yang—seperti halnya kami—juga sangat ingin mewujudkan kerja sama dalam Deklarasi Jakarta. Jadi Deklarasi Jakarta merupakan kunci utama tugas saya selama 3 tahun di Indonesia.
Bagian mana dari Deklarasi Jakarta yang akan menjadi prioritas Anda?
Well, saya tidak bisa melakukan itu. Sebab, seluruh poin dalam Deklarasi Jakarta sudah disepakati oleh pemimpin kedua negara. Jadi saya tidak mungkin mengatakan poin ini menarik dan yang itu tidak menarik. Kami harus memberikan porsi yang sama besar untuk seluruh poin Deklarasi Jakarta. Kami memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukannya. Setelah dua tahun, kita akan melihat evaluasi itu, mungkin ada yang sudah maju atau belum.
Apakah Anda memiliki rencana kerja sama pemberantasan terorisme dengan Indonesia?
Ini adalah salah satu poin dalam Deklarasi Jakarta. Saya juga harus memuji Indonesia, yang berhasil menggulung banyak kelompok terorisme. Namun, masih ada potensi terorisme yang terinspirasi oleh Al-Qaidah, meski tidak terkait langsung dengan kelompok tersebut. Begitu juga masalah radikalisme. Karena itu, saya sangat yakin kita harus bergerak dari akarnya.
Saya sendiri tidak mengutuk secara langsung radikalisasi. Namun, ketika radikalisme berkembang menjadi intoleransi dan tindakan kekerasan untuk mendukung sebuah pemikiran terhadap orang lain yang berbeda pandangan, tentu saja merupakan kejahatan. Membutuhkan waktu bagi seseorang radikal menjadi kriminal. Karena itu, harus segera dipotong di tengah agar tidak berkembang.
Jadi, saya menyarankan agar masalah terorisme diatasi dengan cara menjalin komunikasi dengan pesantren, kampus, dan masyarakat di akar rumput untuk menghentikan radikalisasi. Ini bukan hanya tugas polisi, tapi juga tanggung jawab masyarakat—terutama kalangan media dan organisasi-organisasi keagamaan.
Apa kelebihan dan kekurangan Indonesia sebagai partner dalam perdagangan dan investasi?
Kelebihan pertama adalah jumlah penduduk yang mencapai 240 juta orang. Jika ini tidak disebut pasar, saya tidak tahu lagi definisi pasar (tertawa). Kedua, Indonesia memiliki penduduk kelas menengah dan atas yang terus bertambah dengan minat konsumsi besar, yang berarti potensi impor produk berkualitas dari Eropa sangat besar.
Ketiga, Indonesia merupakan negara industri yang berkembang sangat pesat. Apalagi, ada rencana menambah pasokan listrik bagi industri dan pembangunan infrastruktur. Di sini ada kesempatan memperluas pasar bagi perusahaan-perusahaan Jerman. Keempat, data makroekonomi Indonesia sangat baik, sistem finansial baik, dan tingkat utang rendah.
Namun infrastruktur memang harus ditingkatkan seperti membangun pelabuhan baru, bandara baru, jalan baru, dan pembangkit listrik baru. Ini akan membantu investor seperti Jerman untuk membawa barang-barang industri. Kedua, kondisi investasi yang kurang kondusif. Ada peraturan dan birokrasi pemerintah yang kadang tidak membantu bagi perusahaan yang aktif berusaha di sini.
Di sini ada 300 perusahaan Jerman. Banyak nama-nama terkenal, tapi ada juga perusahaan kecil dan menengah. Secara umum, mereka sangat positif akan keadaan Indonesia. Di masa depan, kedua negara memiliki potensi dalam bidang turisme, konstruksi, serta energi terbarukan seperti geotermal.
Profil Georg Witschel
Lahir : 1954
Status : Menikah, dengan satu anak
Pendidikan : Doktor Hukum Internasional di Erlangen University, Jerman
Karier :
2002-2006 Komisioner Pemerintah Federal untuk Combating Terorism
2009-2012 Duta Besar Jerman untuk Kanada
2012-sekarang Duta Besar Jerman untuk Indonesia