TEMPO.CO, Beirut - Seorang pejabat intelijen terkemuka Libanon, penentang Presiden Bashar al-Assad, tewas dalam ledakan besar di Beirut, kemarin. Bom mobil itu membawa pertanda lain bahwa perang saudara Suriah menyeret tetangganya dalam kondisi instabilitas.
Wissam al-Hassan, pejabat intelijen itu, sebelumnya memimpin penyelidikan terhadap Suriah dan Hizbullah, yang terlibat dalam pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafik al-Hariri. Ia bersama tujuh orang lainnya tewas ketika bom meledak di pusat Kota Beirut pada hari Jumat sore.
Hassan, seorang muslim Sunni yang dekat dengan Hariri, juga membantu mengungkap plot bom yang menyebabkan penangkapan dan dakwaan atas mantan menteri pro-Assad.
Pengeboman itu adalah yang paling serius terjadi di Beirut sejak 2005. Ribuan muslim Sunni tumpah ke jalan-jalan di seluruh negeri, membakar ban dan memblokir jalan untuk menunjukkan kemarahan mereka.
Anak Hariri, Saad al-Hariri, menuduh Assad berada di balik pengeboman itu. Sedangkan oposisi Libanon meminta pemerintah Perdana Menteri Najib Mikati mengundurkan diri.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengutuk peristiwa itu sebagai "aksi terorisme" dan menyebut pembunuhan Hassan merupakan "tanda berbahaya yang diberikan oleh mereka yang terus berusaha untuk merusak stabilitas Libanon."
"Libanon harus menutup bab dari masa lalu dan mengakhiri impunitas terhadap pembunuhan politik dan kekerasan bermotif politik lainnya," kata Clinton dalam sebuah pernyataan tertulis.
Kepala Pasukan Keamanan Internal Libanon, Mayor Jenderal Ashraf Rifi, menggambarkan kematian Hassan sebagai "pukulan besar" dan memperingatkan bahwa serangan lebih lanjut kemungkinan akan sama besarnya.
REUTERS | TRIP B