TEMPO.CO, Kigali - Amnesty International, Ahad, 7 Oktober 2012, menuduh lembaga intelijen militer Rwanda terlibat dalam penyiksaan, melanggar hukum, dan penghilangan paksa warga sipil.
Kelompok hak asasi manusia ini dalam laporannya mengatakan anggota departemen intelijen militer Rwanda yang dikenal dengan sebutan J2 telah menyiksa warga sipil dengan alat kejut listrik, memukuli, serta menggunakan alat sensor untuk memaksa pengakuan.
"J2 juga menahan warga sipil di dalam tahanan militer tanpa proses peradilan selama berbulan-bulan," kata Amnesty.
Kementerian Kehakiman Rwanda, Ahad, menyatakan pengadilan sedang menangani berbagai bentuk kekerasan ketika tejadi penahanan ilegal.
Pemerintah Rwanda tidak secara langsung menanggapi tuduhan Amnesty, tetapi Kementerian Kehakiman mengatakan segera menginvestigasi laporan tersebut.
Bulan lalu, sebuah laporan dari Human Rights Watch mengatakan Rwanda telah memberikan dukungan terhadap kelompok pemberontak di negara tetangga Kongo, tempat pemberontak M23 melakukan tindak kejahatan, termasuk perkosaan dan pembunuhan.
Rwanda berkali-kali membantah keterlibatannya dengan M23, tetapi banyak negara-negara donor Barat menunda bantuannya setelah ada laporan dari PBB yang menyebutkan bahwa para pejabat Rwanda menyuplai senjata dan logistik kepada para pemberontak. Amnesty juga meminta negara-negara donor agar menunda bantuannya kepada anakan bersenjata Rwanda.
Antara Maret 2010 hingga Juni 2012, Amnesty mangatakan lembaganya mendokumentasikan 45 kasus penahanan tanpa proses hukum.
Sejumlah pria yang diwawancarai oleh Amnesty mengatakan mereka diambil paksa setelah terjadi serangan granat di Kigali pada Maret 2010 dan berlanjut hingga pemilihan presiden Agustus 2010. Dalam pemilihan tersebut presiden incumbent Paul Kagame memenangkan kursi pemilihan dengan dukungan 93 persen suara.
REUTERS | CHOIRUL