TEMPO.CO, Kairo - Presiden Mesir Mohamed Mursi, Kamis, 13 September 2012, mengatakan dia mendukung unjuk rasa damai untuk menyampaikan protes, namun menolak demonstrasi dengan cara menyerang orang atau kedutaan.
Kalimat tersebut disampaikan Mursi melalui pidato di televisi setelah para pengunjuk rasa Mesir yang marah memanjat tembok Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kairo untuk menurunkan dan membakar bendera AS, Selasa, 11 September 2012. Kemarahan itu dipicu pembuatan sebuah film yang dianggap menghina Nabi Muhammad di AS.
Kemarahan umat Islam di Libya jauh lebih bengis. Mereka melampiaskan angkara murka dengan membunuh Duta Besar AS beserta tiga stafnya yang sedang berada di kantor konsulat AS di Benghazi, Libya Timur.
"Ekspresi pemikiran, kebebasan berunjuk rasa, dan menyatakan sikap adalah hak yang dijamin. Tapi tidak boleh menyerang aset pribadi atau publik, misi diplomatik atau kedutaan," kata Presiden Mursi. Mursi melanjutkan, dirinya berjanji akan melindungi warga asing dan mengutuk pembunuhan diplomat AS di Libya.
Pidato Mursi sepertinya tak mampu menenangkan rakyat Mesir. Mereka tetap berunjuk rasa anarkistis di depan kantor Kedutaan Besar AS di Kairo, sehingga bentrok fisik tak terelakkan dengan polisi. Akibat bentrokan tersebut, setidaknya 30 orang cedera dan lebih dari sepuluh polisi terluka.
Amarah rakyat Mesir dan Libya ini dipicu oleh sebuah film berdurasi dua jam karya Sam Bacile, pengusaha properti Yahudi asal Israel yang kini bersembunyi di California, AS.
Dia merasa prihatin atas kematian warga Amerika dan kerusuhan akibat filmnya. Tapi Bacile menyalahkan lemahnya keamanan kedutaan dan kekerasan di Libya. "Saya rasa sistem keamanan (di kedutaan) tidak bagus," kata Bacile. "Amerika harus melakukan sesuatu untuk mengubahnya."
REUTERS | CHOIRUL
Berita Terpopuler:
Hartati Murdaya Tak Takut Walau Ditembak Mati
Tewas Gara-gara Perbesar Penis dengan Silikon
Alasan Indonesia Terpilih Tuan Rumah Miss World
Meriah Halal Bihalal Jokowi di Kelapa Gading
KONI Minta PSSI Djohar Jangan Seperti Anak-anak