TEMPO.CO, Washington–Aktivis Myanmar yang eksil sejak demonstrasi 1988 menyesalkan kebijakan Uni Eropa menunda sanksi ekonomi selama setahun mendatang. "Penundaan sanksi sangat tidak logis dan munafik," kata Soe Aung dari Forum untuk Demokrasi Burma, yang berbasis di Thailand.
Menurut Aung, keputusan Uni Eropa sangat tergesa-gesa. Padahal, dia menegaskan, parameter Uni Eropa, yakni perbaikan hak asasi manusia di Myanmar, belum terlaksana. "Belum ada pembebasan tahanan politik tanpa syarat dan penghentian serangan terhadap etnis minoritas," ujar Aung.
Adapun aktivis Myanmar yang berada di Amerika Serikat mendesak negara tersebut untuk tetap menegakkan sanksi sebelum ada perbaikan soal hak asasi manusia. Pekan lalu, mereka melobi para pengambil kebijakan, termasuk Kementerian Luar Negeri dan Bank Dunia di Washington.
Khin Ohmar, Koordinator Burma Partnership, menyatakan, meski sensor ketat terhadap media diperlunak, militer masih bisa bertindak tanpa hukuman. "Presiden Thein Sein mungkin reformis. Tapi yang dibutuhkan Myanmar adalah perubahan sistematis, bukan perubahan berdasarkan perorangan," tutur Ohmar di Washington.
Kondisi transisi di Myanmar pun membuat Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyatakan akan berkunjung akhir pekan ini. Undangan Thein Sein ini menjadi kunjungan ketiga Ki-moon ke Myanmar. Dalam kunjungan kali ini, Ki-moon akan bertemu untuk pertama kali dengan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi. "Myanmar baru menjalani masa transisi. Banyak tantangan di depan. Tapi saya yakin kami dapat membantu Myanmar menuju masa depan yang paling cerah," kata Ki-moon.
AP | IRRAWADY | SITA PLANASARI AQUADINI