TEMPO.CO, Kavalcik-- Masalah di Suriah yang belum reda kian mendorong warganya mengungsi, terutama di perbatasan Turki. Dalam hitungan jam, sekitar 100 orang, mayoritas perempuan yang membawa bayinya atau di depan para bocah, sambil membawa bawaan sekadarnya berjalan melintasi bukit. Dengan sabar, mereka menunggu militer Turki yang tiba, sebelum menyeberang untuk mendaftar dan diangkut ke kamp-kamp pengungsian.
Para pengungsi itu dari Killi, desa yang hanya beberapa kilometer dari perbatasan Turki di Provinsi Idlib. “Mereka (tentara pemerintah) mengebom Idlib. Mereka punya tank-tank dan roket,” kata Abdul Samad, salah satu pengungsi, berteriak dari balik pagar. “Pemberontak sebelumnya datang dan mengatakan, ‘Militer akan menyerang desamu malam ini. Pergilah.’ Makanya kami berjalan ke sini,” ujar Samad, Rabu 14 Maret 2012. "Kami tak mau kembali sampai Assad turun."
Para aktivis oposisi mengungkapkan militer telah membunuh lusinan orang di Idlib pada Selasa lalu, sementara pemberontak membunuh sedikitnya 10 tentara pemerintah. Menurut pejabat Turki, dalam sepekan terakhir, jumlah warga Suriah yang lari masuk Turki meningkat pesat. Angkanya sekitar 200-300 orang yang menyeberang ke Turki saban hari.
Selasa lalu, Presiden Suriah Bashar al-Assad menyebutkan pemerintah berencana menggelar pemilu parlemen pada 7 Mei mendatang sesuai dengan amanah referendum konstitusi. Namun rencana ini disikapi sinis kubu oposisi karena mereka tak mengakui gelaran referendum beberapa pekan lalu.
Dari Jenewa, mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, sebagai utusan PBB dan Liga Arab, kemarin menerima tanggapan dari Presiden Assad. "Utusan Khusus Gabungan (JSE) untuk Suriah, Kofi Annan, telah menerima sebuah surat tanggapan dari pemerintah Suriah. JSE punya beberapa pertanyaan dan tengah mencari jawaban," ujar juru bicara Ahmad Fawzi dalam sebuah pernyataan yang dilansir oleh kantor Annan di Jenewa.
REUTERS | DWI ARJANTO