TEMPO.CO ,LONDON:- Pemerintah Inggris melarang penggunaan simbol-simbol agama Kristen untuk dipakai umatnya di tempat kerja. Pelarangan ini diduga merupakan serangan balik terhadap kalangan Gereja Katolik Roma di Inggris yang sebelumnya menentang rencana kebijakan pelegalan pernikahan sesama jenis.
Pemerintah Inggris menilai pemakaian simbol agama seperti salib dan rosario bukan merupakan kebutuhan iman. Karena itu, mereka berpikir simbol agama bukan merupakan sebuah keharusan yang mendesak bagi umat Kristiani untuk menggunakannya. “Pemerintah bakal melawan semua gugatan di pengadilan,” ujar juru bicara pemerintah kepada wartawan, Senin 12 Maret 2012.
Kebijakan pemerintah Inggris semacam ini jelas memantik kemarahan kalangan umat Kristiani di Inggris. Mantan Uskup Agung Canterbury, Lord Carey, menilai pemerintah sudah mencoba mendikte kehidupan umat Kristen. Ia mengatakan kebijakan semacam itu perlu dilawan.
Kemarahan warga Inggris atas kebijakan itu juga didasarkan pada konstitusi Inggris yang melindungi hak asasi setiap orang untuk menjalankan keyakinan agamanya.
Kasus ini mencuat setelah dua orang perempuan Inggris, Nadia Eweida, yang berprofesi sebagai pramugari, dan Shriley Chaplin, seorang perawat, memperkarakan diskriminasi yang mereka rasakan di perusahaan tempat mereka bekerja gara-gara memakai simbol agama. Bahkan mereka diberhentikan secara sepihak oleh kantornya karena melawan kebijakan tersebut.
Lalu mereka mengadukannya ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa untuk mendapatkan haknya kembali. “Kristen tidak dilindungi negara seperti agama lain menggunakan jilbab atau gelang kara,” ujar Chaplin saat diwawancarai Telegraph.
Kemarahan melawan kebijakan pemerintah terus meluas di seantero negara kerajaan itu. Andrea Williams, Direktur Lembaga Pusat Hukum Kristen di Inggris, khawatir kemarahan yang terus terpupuk bakal menimbulkan sekat-sekat kehidupan berdasarkan agama di Inggris.
“Setelah ini apa lagi? Pemerintah mau menentang sepuluh firman Tuhan?” kata Williams dengan nada geram.
TELEGRAPH | BBC | SANDY INDRA PRATAMA