TEMPO.CO, Tokyo - Naoto Kan, mantan Perdana Menteri Jepang, mengatakan negara itu sangat tidak siap menghadapi bencana nuklir tahun lalu di Fukushima. Ia mengatakan hal itu kepada kantor berita The Associated Press dalam sebuah wawancara eksklusif.
Ia menyebutkan kerentanan dalam industri nuklir Jepang adalah akibat kelalaian. "Pedoman keselamatan sangat tidak memadai untuk manajemen krisis," katanya. Ia menyebutkan perlu perombakan dalam kebijakan agar kasus yang sama tak terjadi di kemudian hari.
Kan, yang mengundurkan diri pada bulan September, juga menyatakan bahwa pembangunan PLTN Fukushima Daiichi cacat dari sisi pemilihan lokasi. "Seharusnya pembangkit listrik itu tak dibangun begitu dekat dengan laut yang rawan tsunami," ujarnya.
Inti dari tiga reaktor di PLTN itu mencair saat gempa yang diikuti tsunami pada 11 Maret tahun lalu. Media Jepang melaporkan sejumlah pekerja Tokyo Electric Power Company (TEPCO), operator PLTN Fukushima Daiichi, telah terpapar radiasi sedikitnya 250 milisieverts. Maksimum dosis yang bisa ditoleransi manusia adalah 100 milisieverts. Radiasi paparan merambat hingga 250 milisieverts sejak krisis nuklir terjadi.
Para pekerja itu terpapar ketika bekerja di dalam pusat ruang kendali PLTN dan di luar gedung reaktor. Laporan-laporan itu menyebutkan para pekerja kedapatan dengan level radioaktif iodine di kelenjar tiroid mereka 10 kali lebih tinggi dari pekerja biasa.
TEPCO menyebutkan telah melakukan pengukuran internal paparan radiasi kepada seluruh pekerjanya yang terlibat dalam kerja darurat di PLTN itu, yang rusak oleh gempa dan tsunami pada 11 Maret lalu. Perusahaan itu sudah memberi catatan kepada badan energi atom pemerintah soal kemungkinan problem baru. Dalam sebuah pernyataan, badan itu mengkonfirmasi bahwa, “Kelenjar tiroid dua pekerja pria menunjukkan level tinggi radiasi (iodine-131).”
TRIP B | AP