TEMPO.CO , Buenos Aires - Presiden Argentina Cristina Fernandez, Selasa, 7 Februari 2012, mengutuk kehadiran militeri Inggris di kawasan Atlantik Selatan. Dia berjanji mangadukan hal tersebut ke PBB sehubungan dengan kian meningkatnya ketegangan kedua negara terkait peringatan 30 tahun Perang Falklands.
Inggris dan Argentina pernah terlibat perang untuk memperebutkan Kepulauan Falklands pada 1982. Hingga saat ini London menolak permintaan Argentina untuk bernegosiasi soal kawasan tersebut kecuali 3.000 warga kepulauan bersedia melakukan perundingan langsung.
"Mereka telah melakukan militerisasi lagi di kawasan Atlantik Selatan," ucap Presiden Cristina Fernandez dalam pidato khusus di Istana Presiden seraya mengritik pengerahan kapal perusak Inggris HMS Dauntless yang berada di kawasan tersebut beberapa bulan ini.
"Ada satu hal yang perlu kami lestarikan selain sumber alam yakni kedaulatan negara dimana perdamaian berlaku di sana," ujarnya sembari menambahkan bahwa Menteri Luar Negeri akan segera menyampaikan keberatan Argentina ke Dewan Keamanan PBB dan Dewan Jenderal.
Di samping itu, Fernandez juga mengiritik kehadiran Pangeran William selaku pilot helikopter tempur di kepulauan tersebut. "Kami lebih suka melihat beliau berpakaian sipil bukan berseragam militer," katanya.
Belakangan ini, kedua pemerintahan kerap mengumandangkan kata-kata perang dalam menyikapi pesoalan Kepulauan Falklands. Perdana Menteri Inggris David Cameron berkali-kali membantah tuduhan Argentina soal upaya militerisasi Inggris terhadap kawasan tersebut.
Fernandez merupakan bekas anggota senat yang memulai karir politiknya sebagai senator dari daerah pemilihan Patagonian, kawasan dekat dengan kepulauan yang disebut Inggris sebagai sebuah "kekuasaan kolonial dalam kemunduran".
Pada tiga dekade lalu, Argentina merekam memori yang sangat menyakitkan dimana hampir seluruh rakyat menyaksikan kebijaksanaan Argentina hadir di kepulauan tersebut 2 April 1982. Rakyat menganggap kehadirtan militer ke daerah itu dianggap sebuah kesalahan besar yang dilakukan oleh diktator militer.
REUTERS | CHOIRUL