TEMPO.CO , Kabul - Penembakan di sebuah kompleks militer di Kabul April lalu yang menewaskan sembilan tentara Amerika Serikat ternyata bermuara pada hal sepele. Ahmed Gul, pria yang memberondongkan senjata itu, sebetulnya hendak menghabisi mentor AS yang memotong gajinya hampir setengah. Ahmed marah karena alasan pemotonganya dinilai mengada-ada: karena ia tidak mampu belajar bahasa Inggris.
Laporan investigasi khusus Angkatan Udara AS tentang serangan yang dirilis pekan lalu menyimpulkan bahwa Gul, 46 tahun, bertindak sendirian. Mereka juga tak menemukan bukti bahwa serangan itu terhubung ke Taliban atau pemberontak. Laporan itu mencatat insiden itu murni karena persoalan keuangan dan mental GuI. Namun tak disebutkan tentang kegagalan Gul dalam pelajaran bahasa Inggris sebagai motif.
Laporan Angkatan Udara, seperti dikutip Fox News, kata pejabat Afghanistan yang terluka dalam penembakan itu, juga mengungkapkan bukti yang jelas bahwa Departemen Pertahanan gagal melakukan pemeriksaan latar belakang Gul. Sebelumnya ia menghabiskan 18 bulan di perumahan militer di Hayatabad, Pakistan, di mana ia menjadi semakin radikal dan anti-Amerika.
Menurut laporan itu, seorang kerabat Gul mengatakan ia mulai mengikuti ajaran Taliban pada 1995. Ia kemudian meninggalkan Afganistan ke Pakistan. Pada 2008 ia kembali ke Afganistan lagi karena "marah pada orang asing yang menginvasi negaranya".
Kolega lama Gul menafikan laporan itu. Menurut pria yang bersama-sama Gul masuk Akademi Angkatan Udara Afghanistan ini kegagalan dalam belajar bahasa Inggrislah pemicu utama penembakan. Bahasa Inggris merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk duduk dalam posisi pilot aktif bergaji besar, posisi yang pernah didudukinya saat rezim Taliban berkuasa.
Gul terdaftar di kelas bahasa Inggris yang diwajibkan semua pilot di Kabul, tapi ia tidak mampu menyelesaikan kursus itu dengan baik.
Karena Gul tidak bisa kembali bertugas aktif sebagai pilot karena kemampuan bahasa Inggrisnya kurang, ia terpaksa mengambil pekerjaan non-terbang dengan gaji hampir setengah dari sebelumnya.
"Ahmed Gul sangat-sangat marah karena ini. Dia menyalahkan Amerika dan mentor-mentor yang bekerja di kantor yang sama... mungkin aku pikir dia menyasar mereka karena ini," kata rekan tersebut.
Gul, yang hobi berjudi, tidak dapat menghidupi enam atau tujuh anaknya--termasuk dua anak yang kuliah di Kabul--dan harus menjual rumah keluarganya untuk melunasi utang-utangnya, kata koleganya.
"Dia punya banyak kesulitan keuangan, dia menderita kemiskinan, dia gila karena kemiskinan," katanya.
TRIP B