TEMPO.CO , Teheran - Setelah melalui perdebatan, parlemen Iran bersepakat menyetujui rancangan undang-undang pelarangan ekspor minyak ke Uni Eropa mulai pekan depan. Demikian kabar dari kantor berita Fars mengutip keterangan salah seorang anggota parlemen, Jumat, 27 Januari 2012.
"Parlemen Iran menyetujui rancangan undang-undang penghentian ekspor minyak ke Uni Eropa mulai pekan depan," kata Hossein Ibrahimi, Wakil Ketua Keamanan Nasional Parlemen dan Komite Kebijakan Luar Negeri.
Baca Juga:
Penghentian pengiriman minyak ke Uni Eropa berlaku dalam masa enam fase. Hal ini sekaligus merupakan jawaban Iran terhadap sanksi Barat sehubungan dengan program nuklir Iran.
Menurut keterangan kantor Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), Uni Eropa menyumbangkan 18 persen penjualan minyak mentah Iran pada paruh waktu 2011. Uni Eropa merupakan pangsa pasar terbesar Iran setelah Cina.
"Jika kami sampai pada kesimpulan bahwa ekspor minyak Iran ke Eropa harus dihentikan, parlemen tidak akan menunda sejenak," ucap Moayaed Hosseini-Sadr, salah seorang anggota parlemen di Komisi Energi, kepada Fars.
Baca Juga:
"Seandainya ekspor minyak Iran ke Eropa, sekitar 18 persen itu (dari ekspor minyak Iran) dihentikan, Eropa pasti kaget. Mereka akan memahami kekuatan Iran dan menyadari bahwa pemerintah Islam tidak akan tunduk pada kebijakan Eropa," ucapnya.
Keputusan parlemen Iran ini menunjukkan betapa seriusnya Teheran terhadap permasalahan perdagangan minyak ke Eropa, tutur Gubernur OPEC Iran, Mohammad Ali Khatibi, kepada kantor berita ILNA. Khatibi berjanji akan membawa masalah tersebut ke pertemuan OPEC mendatang.
Parlemen Iran yang didominasi kelompok konservatif sebelumnya menekan pemerintah agar mengambil aksi perlawanan terhadap apa yang mereka lihat sebagai sebuah permusuhan dari Barat.
November tahun lalu Iran mengusir duta besar Inggris setelah London mengumumkan sanksi baru selanjutnya diikuti oleh negara-negara Uni Eropa lainnya. Bahkan kelompok radikal menyerbu kantor Kedutaan Besar Inggris di Teheran. Kejadian ini menyebabkan Inggris menarik seluruh staf kedutaannya dari sana.
REUTERS | CHOIRUL