TEMPO.CO, Moskow - Rusia mengingatkan Uni Eropa (UE) terkait sanksi embargo minyak yang diberlakukan UE terhadap Iran. Rusia menilai sanksi tersebut tidak tepat. "Iran justru tidak akan melakukan konsesi atau perubahan kebijakan saat tekanan Barat meningkat," ujar Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Senin, 23 Januari 2012.
Rusia akan berusaha mencegah meruncingnya hubungan antara Barat dan Iran. "Meskipun banyak faktor yang memberatkan, namun kami masih memiliki harapan yang kuat untuk terus berdialog," katanya. Rusia berkukuh dialog merupakan hal yang harus dilakukan dalam penyelesaian krisis nuklir Iran.
Sebelumnya pemimpin negara-negara anggota Uni Eropa menyepakati embargo pembelian minyak dari Iran sebagai sanksi atas program riset nuklir yang dilakukan negara Timur Tengah tersebut. Selain embargo, sanksi lain yang akan dijatuhkan adalah pemblokiran aset bank sentral Iran yang berada di seluruh wilayah Eropa.
Salah satu anggota parlemen Iran mengatakan embargo ini tak lebih dari propaganda belaka serta tidak memiliki arti besar. Ali Adyani, anggota Komisi Energi Parlemen Iran, mengatakan keputusan Uni Eropa menunjukkan betapa mereka hanya menjadi budak beberapa gelintir politikus Amerika.
"Ini tidak akan memiliki efek terhadap perekonomian Iran. Teheran bisa menjual minyak ke banyak negara meski ada larangan," ujarnya.
Baca Juga:
Uni Eropa merupakan konsumen minyak Iran terbesar kedua setelah Cina. Badan Energi Internasional mencatat Eropa mengimpor 600 ribu barel minyak per hari dari Iran sepanjang 2011. Pasokan minyak Iran mencapai 34,2 persen dari total impor minyak Yunani, 14,9 persen dari impor minyak Spanyol, serta 12,4 persen dari impor minyak Italia.
Sebagai pemegang hak veto di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rusia juga dikenal sebagai negara yang selalu melindungi Iran dari usaha-usaha Barat melakukan serangan terbuka terhadap Iran. Rencana penyerangan Iran berawal dari sejumlah laporan intelijen kepada Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang menyebut adanya upaya Iran mengembangkan teknologi senjata nuklir.
REUTERS| THE TIMES OF INDIA| ANANDA PUTRI