TEMPO.CO , Yangon :- Pemerintah Myanmar membebaskan kembali sejumlah tahanan politik setelah adanya kebijakan amnesti yang diteken Presiden Thein Sein terhadap 651 orang tahanan. Sikap yang diperlihatkan bekas negara junta militer itu bertujuan mengambil hati negara Barat agar meringankan sanksi yang sudah dijatuhkan kepada mereka.
Partai oposisi yang dipimpin Aung San Suu Kyi menilai pembebasan itu sebagai satu "tanda positif". Kebijakan amnesti baru itu disebut dapat menimbulkan harapan baik di bawah pemerintah sipil yang baru itu.
"Sikap pemerintah sekarang ini bertujuan untuk memecahkan masalah politik melalui cara-cara politis," kata Win Tin, seorang anggota senior partai oposisi, Jumat 13 Januari 2012. Ia sendiri sempat 19 tahun mendekam di penjara tapi dibebaskan di bawah kebijakan amnesti pada 2008.
Dalam daftar antrean para tahanan yang dibebaskan, banyak nama yang sangat dikenal di kancah pergerakan demokrasi Myanmar. Ada Min Ko Nain, pemimpin pemberontakan prodemokrasi 1988, Khin Nyunt, mantan perdana menteri dan kepala intelijen militer. Terakhir ada Shin Gambira, seorang biksu Buddha ternama. Dia memimpin protes jalanan tahun 2007.
Amerika Serikat dan Uni Eropa lega dengan langkah yang diambil oleh pemerintah yang baru berkuasa sejak tahun lalu itu. Barat memang menuntut pembebasan para tahanan politik sebelum mempertimbangkan pencabutan sanksi-sanksi terhadap Myanmar.
Namun langkah yang dinilai baik oleh banyak kalangan itu ditingkahi berbeda sejumlah media Barat. Media masih sangsi dengan reformasi Myanmar.
Pembebasan saat ini bukanlah yang pertama karena sekitar Oktober lalu Myanmar juga membebaskan para tahanan politik. Mereka antara lain para anggota partai oposisi dan seorang pelawak pengkritik pemerintah, Zarganar. Saat ini diperkirakan ada 1.500 tahanan lagi yang masih berada di dalam penjara-penjara politik.
AP| REUTERS Al JAZEERA | SANDY INDRA