TEMPO.CO, Port Moresby - Parlemen Papua Nugini mendukung perdamaian antara Perdana Menteri Peter O'Neill dan Wakilnya, Belden Namah. Perdamaian dilakukan setelah Namah meminta O'Neill mundur karena insiden penghadangan jet Falcon yang ditumpangi Sang Wakil oleh pesawat tempur Angkatan Udara Republik Indonesia, November tahun lalu.
Pada 9 Januari 2012, Namah menyerang O'Neill dalam acara talk show Roger Hauofa di Radio FM 100. Ia meminta Sang Perdana Menteri mengundurkan diri karena tidak mendukung pengusiran Duta Besar Indonesia di Port Moresby, Andrias Sitepu.
Namah mengancam akan mengusir Andrias bila Indonesia tidak memberi penjelasan dan permintaan maaf atas insiden tersebut. Meski kejadiannya November lalu, ia baru bersikap dua bulan kemudian. Pesawat Namah ketika itu dalam penerbangan dari Subang, Malaysia, menuju Port Moresby. Dianggap belum memiliki izin melintasi langit Indonesia, pesawat itu ditempel dua Sukhoi di atas Makassar.
O'Neill menyatakan tetap tidak akan mendukung keinginan Namah agar mengusir Duta Besar Indonesia. Dia pun menolak mundur. "Saya tidak perlu mengundurkan diri karena sejauh ini saya bertanggung jawab terhadap tugas," kata O'Neill.
Kini O'Neill dan Namah menyatakan akan tetap memimpin Papua Nugini hingga pemilihan umum pada April mendatang.
ABC RADIO AUSTRALIA NEWS | CORNILA DESYANA
Berita Terkait:
Ada Dua Kubu Perdana Menteri di Papua Nugini
Ini Kesaksian Pilot Jet Falcon Papua Nugini
Unjuk Rasa di Kedubes RI Port Moresby Dibubarkan
Hikmahanto: Cari Tahu Apa Penyebab PNG Marah
Beginilah Aksi 37 Menit 'Menjepit' Jet Papua Nugini