TEMPO.CO , Jakarta - Drama politik itu dimulai ketika Sir Michael Somare, sang Pemimpin Besar--demikian julukannya--yang berkuasa sejak negara yang berbatasan dengan Papua dan Indonesia itu merdeka, berobat ke Singapura.
Pada April lalu, Somare, 75 tahun, terkena serangan jantung dalam persidangan tentang pemberhentian sementara dirinya sebagai kepala pemerintahan selama dua minggu. Persidangan itu karena Samore terlambat menyerahkan laporan pertanggungjawaban keuangan negara. Somare pun menjalani operasi jantung di Singapura.
Pada Mei 2011 lalu, istri Somare dan anaknya, Arthur Somare, mengumumkan Somare tidak lagi menjadi perdana menteri karena alasan kesehatan. Setelah itu, selama sekitar empat bulan, Papua Nugini menggelinding tanpa pemimpin.
Koalisi partai penguasa retak. Parlemen pun amburadul. Sebab, menurut Konstitusi Papua Nugini, apabila pemimpin pemerintahan sakit dalam waktu lama, pemimpin oposisi berhak naik sebagai pengganti. Pada awal Agustus 2011, parlemen mengangkat O’Neill--Menteri Tenaga Kerja dan Mantan Menteri Keuangan--sebagai Perdana Menteri Papua Nugini yang baru.
Penyebab kekalahan Somare dalam pemungutan suara di parlemen adalah pengkhianatan partai politik koalisinya, Partai Aliansi Nasional. Dari 70 suara pendukung Somare, hanya tersisa 24 suara. O’Neill menyabet 79 dari total 109 suara di parlemen. Partai Aliansi menganggap Somare tak membagi “rezeki” politik.
Baca Juga:
Somare memang dikenal dekat dengan perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki pemerintah Cina, Metallurgical Corporation of China, dan Rimbunan Hijau, perusahaan kayu yang dimiliki Malaysia-Cina. Kedua perusahaan masing-masing memiliki omzet lebih dari US$ 1 miliar per tahun.