TEMPO.CO, Teheran - Pengadilan Revolusioner Iran menjatuhi hukuman mati kepada seorang pria keturunan Iran-Amerika Serikat karena terbukti menjadi mata-mata CIA, dinas rahasia Amerika Serikat. Kabar tersebut disampaikan kantor berita semiresmi Fars, Senin, 9 Januari 2012.
"Amir Mirza Hekmati dijatuhi hukuman mati karena terbukti menjadi mata-mata untuk musuh negara (Amerika Serikat) dan CIA," demikian siaran Fars tanpa menyebutkan sumbernya.
Baca Juga:
Hekati merupakan keturunan Iran. Pemuda 28 tahun itu ditahan Desember lalu dan dituduh oleh Kementerian Intelijen Iran menerima pelatihan di pangkalan militer Amerika Serikat di Afganistan dan Irak.
Hekmati mahir berbahasa Persi dan Inggris sengaja disiapkan untuk infiltrasi ke Negeri Mullah. Laporan media Iran menyebutkan Hekmati bergabung dengan angkatan bersenjata Amerika Serikat pada 2001 dan menerima pelatihan khusus sebelum dikirimkan ke Iran.
Menurut ayahnya, Ali Hekmati, putranya menjadi anggota militer Amerika Serikat pada 2001, tapi sebagai marinir. Dia bertugas sebagai penerjemah bahasa Arab. Kepada pengadilan Iran Hemati mengaku memiliki hubungan dengan CIA tapi sama sekali tak memiliki niat merugikan Iran.
Baca Juga:
Sebelumnya Amerika Serikat mendesak Iran membebaskan tahanan tanpa syarat seorang warga Iran yang direkrut Amerika Serikat menjadi agen CIA.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan kepada BBC bahwa Amerika Serikat telah meminta akses agar bisa behubungan dengan Hekmati melalui perwakilan Kedutaan Besar Swiss di Teheran. Amerika Serikat dan Iran tak memiliki hubungan diplomatik, sehingga seluruh keperluan Amerika untuk Iran diwakili oleh Swiss.
Keluarga Hekmati menolak tuduhan bahwa putranya adalah seorang agen mata-mata Amerika Serikat. Mereka yakin, "Hekmati tidak bersalah, dia anak baik, seorang warga negara yang baik, dan pria baik," kata Ali Hekmati kepada ABC News. "Semua tuduhan itu tidak benar dan bohong."
Juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan kepada BBC, "Rezim Iran memiliki sejarah palsu karena menuduh rakyatnya menjadi mata-mata dan memaksa mereka mengakui sebuah kesalahan demi sebuah kepentingan politik."
REUTERS | BBC | CHOIRUL