TEMPO.CO :- Pemilik perusahaan implan payudara yang menjadi pusat ketakutan dunia kesehatan mengaku sebuah gel silikon yang tak diakui dipakai dalam sejumlah produknya. Kini dia diburu penegak hukum.
Sang bos, Jean-Claude Mas, melalui pengacaranya, Yves Haddad, Kamis lalu, mengatakan perusahaannya yang kini bangkrut, Poly Implant Prothese (PIP), membuat implan-implan dari gel berkualitas tinggi untuk para klien kaya. Tapi versi "simpel" yang dilego dengan harga diskon memanfaatkan silikon tingkat industri yang tidak mendapat persetujuan oleh otoritas kesehatan Prancis.
Mas mengakui ada produk PIP "abal-abal" yang secara tidak resmi mendapat pengakuan, dan menyesal telah melanggar peraturan. "Mengapa perusahaan ini menggunakan produk semacam itu? Karena perusahaan tengah dibelit kesulitan dan manajemen mencoba mendapatkan ongkos terbaik," tutur Haddad kepada The Times.
"Ada produk dasar dan ada pula produk canggih buat orang-orang area Ke-16 contohnya," ujar pengacara itu, merujuk pada distrik kelas atas Paris. Menurut PIP, versi "rumah gel" payudara mereka cukup efektif, tapi lima kali lebih murah ketimbang tipe yang mahal. Mas, 72 tahun, berkukuh bahwa gel silikon yang tak sah itu tetap aman.
Toh, sebuah surat perintah penangkapan internasional telah diterbitkan untuk memburu Mas, yang keberadaannya kini tak diketahui. Pengacaranya mengatakan, "Dia akan berdiri membela diri di depan pengadilan. Dia berada di rumahnya. Dia tidak kabur. Lebih dari itu, dia tak bisa lari karena dia baru saja menjalani operasi."
Pemerintah Prancis mengesahkan perintah buat 30 ribu perempuan di negara itu agar mencopot implan dada mereka. Di Inggris, para wanita dianjurkan menemui dokter bedah mereka jika merasa cemas. Para pejabat kesehatan Amerika Serikat kemarin dilaporkan telah didesak menyusun mandat pendaftaran buat melacak implan-implan dada pasien dari PIP.
"Jika sudah punya daftarnya, kami bakal tahu beberapa tahun lalu jika benar implan-implan PIP rusak dengan cepat," ujar Diana Zuckerman, Presiden Pusat Riset Nasional Amerika Serikat untuk Perempuan dan Keluarga.
THE TELEGRAPH | XINHUA | DWI ARJANTO