TEMPO Interaktif, Baghdad - Kelompok Sunni mengkhawatirkan marginalisasi yang dilakukan oleh Syiah setelah pasukan Amerika Serikat (AS) meninggalkan Irak. Syiah berkuasa di pemerintahan setelah jatuhnya Presiden Saddam Hussein.
Setelah beberapa dasawarsa di bawah kepemimpinan Saddam, Sunni menindas suku lain di Irak. Kepergian pasukan AS bisa memicu dendam dan bentrokan antarkelompok suku. “Saya senang pasukan AS meninggalkan Irak, tapi saya khawatir perselisihan antarmilisi akan mulai kembali,” kata Samer Saad, seorang pelatih sepak bola.
Pemerintahan Syiah di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Irak Nouri Al-Maliki menganut aturan otoriter. Pemerintah memperlakukan Syiah dan Sunni dengan cara berbeda.
Pemerintah menangkapi mantan anggota Partai Baath, partai pendukung Saddam, sehingga memicu ketakutan. Maliki adalah mantan seorang pembangkang yang menghabiskan 24 tahun di pengasingan pada pemerintahan Saddam.
Ammar Youssif Hammoud, kepala Sunni dari Provinsi Salahuddin, mengatakan pasukan militer Irak datang dari Baghdad ke Salahuddin menahan orang-orang tanpa memberi tahu pejabat pemerintah daerah. Pada bulan November lalu kelompok-kelompok di wilayah selatan menginginkan otonomi.
Suku Kurdi telah menjalankan otonomi di tiga provinsi di utara dan dua provinsi Syiah yang mendorong otonomi di selatan. Namun, ketika Provinsi Salahuddin terbentuk, muncul reaksi keras dari politikus Syiah.
Perpecahan kelompok dan suku di Irak rentan campur tangan negara tetangga. Mereka mencoba mengamankan pengaruhnya. Sunni dikendalikan negara-negara Arab, sedangkan Syiah memiliki kedekatan dengan Iran. Krisis Suriah yang kini dibawah kendali Sunni juga memperburuk ketegangan.
Setelah penarikan pasukan, kondisi Irak menjadi tidak stabil. Qasim Abdullah, seorang warga Irak, mengatakan kepergian pasukan AS setelah mendapatkan keuntungan dari Irak. Namun, Irak tidak mengalami perubahan dan kekejaman masih sering terjadi. "Irak tidak mengalami perubahan. Anda masih dapat melihat pembunuhan, kehancuran, dan kekerasan sektarian dan situasinya masih tidak stabil," kata dia.
AS telah menarik hampir semua pasukan di Irak sejak Rabu lalu. Pasukan yang terakhir diberangkatkan setelah Natal. Amerika masuk ke Iran saat berlangsungnya perang Irak dan Iran yang kemudian berseteru dengan Kuwait.
Amerika telah menghabiskan anggaran perang Irak sekitar US$ 1 triliun dan 4.485 tentaranya tewas. Saat ini ada sekitar 4.000 tentara AS masih berada di Irak, yang beroperasi dari dua pangkalan di Kota Diwaniya dan Dhi Qar. Saat perang, tentara AS di Irak mencapai 170 ribu. ”Amerika tetap akan menjadi teman, berkomitmen menjadi mitra dengan Irak,” ujar Kepala Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta.
AP, REUTERS, AL JAZEERA, EKO ARI