TEMPO Interaktif, Jakarta - Jamuan makan malam antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton dan pemimpin gerakan demokrasi Myanmar, Aung Suu Kyi, pada Kamis lalu belum cukup bagi keduanya untuk membahas perjalanan demokrasi di Myanmar.
Mereka kemudian melanjutkan pertemuan di rumah Suu Kyi di tepi Danau Rangoon keesokan paginya. Di rumah itu Suu Kyi menjalani hukuman tahanan rumah oleh junta militer selama sekitar 15 tahun.
Keduanya menggelar pertemuan selama satu setengah jam. Seusai pertemuan, Hillary dan Suu Kyi tersenyum lebar serta bergandengan tangan melangkah ke beranda rumah menemui puluhan jurnalis.
"Kami bahagia dengan jalan ini, dalam hal Amerika Serikat melibatkan diri dengan kami. Melalui kerja sama ini kami berharap mempromosikan proses demokrasi," kata Suu Kyi kepada puluhan wartawan pada Jumat, 2 Desember 2011.
Suu Kyi menyambut dukungan yang lebih banyak bagi Myanmar, termasuk rencana Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) membantu negara itu dalam menentukan skala prioritas. "Kami harus menemukan apa yang menjadi kebutuhan utama kami," kata peraih Nobel Perdamaian ini.
Hillary dan Suu Kyi berjanji bekerja sama untuk mempromosikan demokrasi di Myanmar. "Saya sangat percaya bahwa, jika kami bekerja sama, jalan demokrasi tidak akan berbalik arah," ujar Suu Kyi.
Keduanya juga meminta pemerintah Myanmar mengakhiri konflik antara militer dan kelompok etnis yang tengah bergerilya menuntut otonomi. "Segala permusuhan harus dihentikan di negeri ini secepat mungkin. Kita harus membangun kembali keharmonisan etnis dan damai serta persatuan untuk keamanan dan kemakmuran."
Sebelumnya Hillary Clinton memuji Suu Kyi sebagai pemimpin yang teguh dan bersih. "Anda telah menjadi inspirasi."
Dua perempuan paling berpengaruh di dunia ini kemudian berpelukan erat dan tersenyum lepas. Foto-foto pelukan erat mereka diunggah di jejaring sosial Facebook dan menuai banyak komentar. "Biasanya saya tidak percaya terhadap pelukan yang dilakukan oleh para politikus, tapi saya menyukai foto ini," kata seorang warga Jerman memberi tanggapan.
BBC | REUTERS | IRRAWADDY | MARIA RITA