TEMPO Interaktif:TEHERAN: -- Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Salehi menegaskan, pernyataan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) bahwa Iran sedang membuat model-model komputer sebuah hulu ledak nuklir merupakan klaim-klaim palsu. "Biarkan mereka melansir laporan tersebut, dan kita lihat nanti," ujar Salehi, yang merupakan bekas pejabat senior urusan nuklir itu.
Salehi berkeyakinan, laporan yang disebut-sebut IAEA didapat dari hasil pengamatan intelijen itu seribu persen bermotif politik. "Saya yakin dokumen itu sangat lemah dari sisi keasliannya," ujar Salehi sebagaimana dilansir kantor berita semi resmi Iran, Mehr. "IAEA berada di bawah tekanan negara-negara adidaya."
Baca Juga:
Iran telah berulang kali membantah ambisi membangun persenjataan nuklir dan menegaskan bahwa nuklir digunakan negeri itu untuk pembangkit listrik dan tujuan damai lainnya. Karena itu, Salehi mengatakan negerinya siap menghadapi semua kemungkinan terburuk. "Lebih baik langsung menghadapi bahaya daripada selalu dalam bahaya," ucapnya.
IAEA kemarin menyatakan bakal segera merilis laporan intelijen seputar aktivitas nuklir Iran dalam pekan ini. Mengutip sejumlah sumber diplomat, koran Inggris, The Telegraph, menyebut Ketua IAEA Yukiya Amano memaparkan dokumen setebal 12 halaman dan laporan tahunan terbaru tentang aktivitas program nuklir Iran yang mengarah pada pengayaan uranium.
Adapun menurut bekas pejabat IAEA David Albright langkah-langkah Iran itu termasuk mendapat disain dan uji coba sebuah kapsul peledak untuk memicu ledakan nuklir. Harian The New York Times melaporkan, para pejabat yang mengetahui laporan intelijen itu mengatakan Iran memiliki sebuah fasilitas yang diyakini dipakai untuk menguji coba alat tersebut.
Baca Juga:
Karena itu, Presiden Israel Shimon Peres pada Sabtu malam lalu mengatakan kemungkinan besar Israel dan negara-negara lainnya akan menyerang Iran. "Kita harus mulai bekerja sama dengan negara-negara ini untuk menjamin bahwa mereka memelihara komitmen-komitmen mereka," kata Peres.
AP | WASHINGTONPOST | TELEGRAPH | REUTERS | ANDREE PRIYANTO