TEMPO Interaktif, Tripoli - Selama 42 tahun berkuasa, Kolonel Muammar Qadhafi memerintah dengan cara yang eksentrik dan brutal. Ia membuat Libya menjadi negeri yang terisolasi. Lalu, Libya menjadi negara kaya minyak yang berpengaruh di Afrika Utara. Negara itu tercatat sebagai salah satu pemasok minyak penting bagi Eropa.
Libya adalah pemasok 2 persen dari total minyak di dunia, memproduksi rata-rata sebesar 1,3 juta barel per hari. Tak aneh bilamana mereka menjadi donor utama Uni Afrika sehingga memungkinkan organisasi itu mengirim pasukan perdamaian ke Somalia, Darfur, dan Kongo. Libya juga menyuplai sejumlah negara miskin di Afrika.
Tapi, "Kematian Qadhafi tak besar pengaruhnya terhadap dinamika perminyakan," ujar Helima L. Croft dan Amrita Sen, analis dari Barclays Capital, lembaga investasi perbankan Barclays Bank. Sebab, kata dia, jauh sebelum Qadhafi tewas, sejumlah petinggi perusahaan minyak internasional telah berkenalan dengan calon penerus pemimpin Libya itu.
"Selama bertahun-tahun, industri minyak senantiasa melakukan negosiasi dengan para syah, syekh, raja, kolonel, diktator, dan bahkan pendukung demokrasi," kata Kepala Eksekutif ENI, raksasa minyak Italia, Paolo Scaroni, yang bertemu dengan Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya pada April lalu. "Kami malah sudah berpikir untuk menggenjot sektor minyak negara Afrika Utara."
ENI, BP (Inggris), Total (Prancis), Repsol YPF (Spanyol), dan OMV (Austria) merupakan produsen minyak terbesar di Libya sebelum pemberontakan terjadi. Sejumlah perusahaan Amerika Serikat, seperti Hess, ConocoPhillips, dan Marathon, juga membuat kesepakatan dengan rezim Qadhafi. Libya memasok kurang dari 1 persen kebutuhan impor minyak Amerika.
Ketergantungan Amerika Serikat terhadap minyak dari Libya sangat sedikit, tapi pengurangan produksi minyak dengan kualitas tinggi di pasar dunia--Libya termasuk dari sedikit negara yang bisa menyuplai minyak setara dengan tingkatan jenis light sweet--telah mendongkrak harga minyak dan bensin di Amerika.
Italia dalam beberapa tahun terakhir bergantung pada Libya, dengan 10 persen impor berasal dari negara tersebut. Prancis, Swiss, Irlandia, dan Austria juga bergantung pada Libya, dengan impor mencapai 15 persen dari kebutuhan. Tak mengherankan jika Presiden Prancis Nicholas Sarkozy mengundang pemimpin pemberontak dari Dewan Transisi Nasional untuk berkonsultasi.
"Keluarga yang berkuasa itu telah mati," kata Graham Casey, seorang warga Australia, saat mengomentari tewasnya Qadhafi di situs berita The Daily Mail. "Selamat datang Halliburton, Chevron, ENI, Shell, BP, Exxon, Total, dan ambil singgasana itu dan juga keuntungan."
AP | REUTERS | DAILYMAIL | NYTIMES | ANDREE PRIYANTO