TEMPO Interaktif, VATIKAN -- Sejumlah pengacara hak asasi manusia dan para korban pelecehan seksual pendeta mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag untuk menginvestigasi dan menuntut Paus Benediktus XVI dan tiga pejabat tinggi Vatikan atas kejahatan kemanusiaan. Tuduhan tak main-main itu mereka gambarkan sebagai keterlibatan serta penutupan dalam kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak oleh para imam.
Para pengacara mewakili Jaringan Para Korban Selamat Disalahgunakan oleh Para Pendeta (SNAP) memasukkan berkas komplain setebal 84 halaman ke ICC di Den Haag, Belanda.
Yang didesak untuk diselidiki dan dituntut adalah Paus dan tiga pejabat tinggi Vatikan, yakni mantan Menteri Luar Negeri Vatikan Kardinal Angelo Sodano; menteri luar negeri saat ini, Tarcisio Bertone; serta Kardinal William Levada, mantan Uskup Agung San Fransisco yang kini harus menghadapi yurisdiksi atas kasus-kasus kekerasan saat memimpin Kongregasi untuk Doktrin Ajaran.
"Keempatnya bertanggung jawab melakukan pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya dan untuk penyiksaan fisik dan psikologis korban-korban di seluruh dunia, baik melalui tanggung jawab komando maupun upaya penyembunyian langsung atas kejahatan-kejahatan tersebut," ujar Pam Spees, salah satu pengacara yang berafiliasi dengan Center for Constitutional Rights, yang berbasis di New York, yang memasukkan berkas tuntutan atas nama SNAP.
Seorang juru bicara ICC menyebutkan bahwa kantor jaksa akan memeriksa berkas-berkas, "Seperti yang kita lakukan dengan semua komunikasi." "Langkah pertama akan menganalisis apakah dugaan kejahatan itu berada di bawah yurisdiksi Mahkamah," ujar Florence Olara, juru bicara kantor kejaksaan.
Juru bicara Vatikan, Rev. Federico Lombardi, kemarin menolak berkomentar. Tapi Kardinal Crescenzio Sepe of Naples, mantan Kepala Kantor Misionaris Vatikan, kepada situs Vatican Insider, menyebutkan bahwa pengajuan tuntutan itu adalah "upaya anti-Katolik biasa yang cenderung mengaburkan" citra gereja.
USA TODAY | EURONEWAS | THE NEW YORK TIMES | Dwi A