TEMPO Interaktif, Tripoli - Mungkin buat orang lain ini sedikit berlebihan, tapi itu yang saya rasakan. Pelayaran selama sehari semalam dari Benghazi menuju Tripoli, rasanya seperti terlunta-lunta. Bayangkan saja, jika ada pesawat ke sana, hanya perlu satu jam. Buruk-buruknya dengan mobil, cuma butuh 10 jam.
Apalagi, ketidakanyamanan itu terasa sebelum kapal bernama Ionis ini berangkat. Jadwal membuang sauh pada Senin, 5 September 2011, jam 10.00. Namun kenyataannya, seluruh penumpang baru bisa naik pukul 12.00. Itu pun tidak langsung pergi. Kami mesti menunggu hingga seperempat jam sebelum azan Magrib, baru Ionis yang memiliki dua dek dan mengangkut sekitar 500 penumpang dan 50 kendaraan berlayar.
Tapi mau bagaimana lagi, cuma ini satu-satunya transportasi menuju Tripoli. Libya yang wilayah daratannya luas tidak memiliki jaringan kereta api. Dengan mobil tidak bisa karena harus melewati Sirte yang kini dikuasai pasukan Muammar Qadhafi. “Pesawat juga tidak ada,” kata Ismail, warga Tripoli yang ditemui di pintu pelabuhan.
Tiket kapal ini juga lumayan mahal. Jika ingin kamar harus merogoh hingga US$ 150. Kalau cuma di luar cukup US$ 75. Meski begitu, kapal tidak ada tiap hari. Paling banter dua hari sekali dengan rute menuju Misrata dan Tripoli.
Parahnya lagi, makan siang baru datang jam 5 sore ketika perut keroncongan saya sudah lewat. Dari pengalaman ini, saya bisa membaca gaya hidup rata-rata orang Libya yang tidak disiplin dengan waktu. Dalam perjalanan dari hotel ke Pelabuhan Juliana, Benghazi, saya terpaksa menumpang mobil pribadi lantaran taksi yang dipesan hingga setengah jam belum datang. “Sebentar lagi, sebentar lagi,” kata resepsionis hotel meminta saya bersabar.
Menu makan siang yang terlambat itu adalah makaroni dicampur ikan tuna. Menu besoknya pun sama. Sedangkan sarapan diberi khubja plus susu kotak dan minuman kotak. Khubja ini sejenis roti terbuat dari gandum. Bedanya dengan di Indonnesia, perlu sedikit tenaga untuk menggigitnya. Khubja ini dimakan dengan selai dan keju.
Seperti kebiasaan orang-orang Libya, untuk melegakan tenggorokan diberi minuman kotak rasa buah selain sebotol air kemasan. Karena takut kelaparan seperti tadi siang, saya mengambil makanan lebih untuk persiapan di kamar. Tapi karena keburu mengantuk, saya tidak makan dan baru bangun besok Subuh.
Di pelabuhan, saya juga mesti menahan kekesalan. Tadinya, ada yang berbaik hati menawarkan tumpangan dari tempat tunggu ke kapal. Tapi hingga setengah jam, mobil temannya yang dijanjikan tidak datang. Syukurlah, saya tidak nekat berjalan kaki ke kapal. Tadinya saya pikir dekat. Masya Allah, jauhnya dua kilometer. Belum lagi panas menyengat dan debu pasir beterbangan.
Setelah sangat bersabar, tumpangan itu datang, sebuah Mercedes berwarna hijau tahi kuda. Seperti mobil-mobil umumnya di Benghazi, Mercedes tipe C 200 ini sama sekali tidak terurus. Bopeng tampak di sana-sini. Catnya kusam dan bahkan plafon mobil sudah tidak ada. Praktis mobil yang tergolong mewah itu seperti angkutan umum saja.
Saya juga sempat bermasalah setelah seorang petugas keamanan memaksa ingin menghapus foto suasana penjagaan di pintu pelabuhan. Ia takut foto-foto itu akan diketahui oleh pasukan keamanan Muammar Qadhafi. Untung saja, Ismail ikut membela. “Ini bukan lagi zaman Qadhafi, kita sudah hidup bebas.” Dengan bersungut-sungut, petugas berkulit gelap dan berseragam serba biru itu masuk ke kantornya.
Kapal pun berlayar setelah semua penumpang dan kendaraan (mobil dan truk) masuk. Bedanya, mobil-mobil diparkir hingga ke atas dek. Sedangkan di Indonesia, mobil hanya sampai di lambung kapal.
Untung saja, tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Saya bakal mabuk karena gelombang tinggi Laut Mediterania. Kapal melaju dengan tenang dengan kecepatan sekitar 50 kilometer per jam. Saya sekamar dengan tiga orang, yakni Abdul Hakim (dari Misrata), Farag (Benghazi), dan Ismail (Tripoli).
Abdul Hakim dan Ismail berusia sekitar 40-an tahun. Karena itu, saya memanggil keduanya Ami. Sedangkan Farag sudah lebih dari 70 tahun, tetapi masih bekerja di perusahaan kontraktor. Saya memanggil dia Jid Farag. Mereka semua sangat baik dan membantu saya mengambil sarapan, makan siang, dan malam. Walhasil, saya tidak perlu ikut antrean panjang layaknya pengungsi.
Kami bertiga sepakat Ismail orangnya banyak omong dan suka cari masalah. Ia sampai berdebat sengit hanya gara-gara mempertahankan pendapat bahwa Kota Al-Bayda memiliki laut. Saya yang pernah ke sana sebelumnya membantah, tapi Ismail keras kepala. Ia juga terlibat pertengkaran sengit untuk hal serupa saat makan siang.
Ruangan yang saya tempati berukuran 4x4 meter persegi yang dilengkapi kamar mandi dengan pancuran dan lemari pakaian. Tempat tidurnya bersusun dua. Di dekat jendela ada meja dengan tiga laci. Sayang, tidak ada jaringan Internet sehingga saya tidak bisa buru-buru mengirim laporan ini dari atas kapal.
Setelah berlayar selama 26 jam, Ionis akhirnya berlabuh di Tripoli pada Selasa, 6 September 2011, pukul 9 malam. Namun, hingga dua jam kemudian tidak ada perintah turun dari kapal. Kapten kapal mengumumkan NATO akan memeriksa seluruh isi dan penumpang kapal. Mereka curiga ada orang-orang Qadhafi yang menyusup. “Selentingan yang beredar semalam tiga orang Qadhafi ditangkap,” kata Jid Farag.
Kami pun mendapat makan tengah malam. Menunya cuma nasi yang dicampur semacam bumbu makaroni, minuman kotak, dan apel. Saya sangat kesal dengan NATO dan menganggap mereka tukang cari masalah. Tapi Jid Farag tersinggung dengan penilaian saya itu. “Bagi kami, rakyat Libya, NATO adalah penolong dan membantu membebaskan kami dari diktator (Muammar Qadhafi).”
Karena itu, menjelang Subuh, kapal bergerak keluar dari perairan Libya sebab NATO tidak dizinkan masuk. Pemeriksaan bakal dilakukan di perairan internasional. Syukurlah, besok pagi pukul 8, kapten kapal mengumumkan Ionis dibolehkan berlabuh di Tripoli.
Ketika kapal benar-benar berhenti, polisi masuk kemar dan meminta identitas saya. Ternyata kartu pers tidak cukup, saya mesti menunjukkan surat dari otoritas di Benghazi. Tapi saya tidak punya itu. “Katanya Libya sudah bebas, kenapa masih seperti Qadhafi yang membatasi gerak-gerik orang, termasuk warga sipil,” kata saya menyindir. Setelah berdebat dan dibantu warga Libya lainnya, saya akhirnya dibolehkan turun dari kapal.
Setelah dua hari dua malam, saya akhirnya tiba di ibu kota Libya itu pada Rabu, 7 September 2011, pukul 10.00 pagi. Semoga saja perjalanan melelahkan, membosankan, sekaligus menyebalkan ini tidak terulang sepulang dari Tripoli.
FAISAL ASSEGAF (TRIPOLI)