TEMPO Interaktif, TRIPOLI - Katanya, dalam politik tak ada musuh dan teman yang abadi. Abdul Hakim Belhaj adalah salah satu contohnya. Pemimpin Kelompok Perlawanan Islam Libya (LIFG) ini dulu dikejar-kejar rezim Kolonel Muammar Qadhafi, yang dibantu agen-agen Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) dan Dinas Intelijen Inggris MI-6.
Enam tahun berselang, kedua dinas intelijen negara adidaya itu justru merestui Belhaj menjadi Komandan Pasukan Dewan Transisi Nasional Libya (NTC). Restu itu diperoleh Belhaj setelah Kepala NTC, Mustafa Abdul Jalil, menunjuknya. Belhaj sukses memimpin pasukan pemberontak mengepung kompleks tempat tinggal Qadhafi di Bab Al-Azziyah.
Toh, Belhaj tak pernah melupakan peristiwa pada 2004 itu. "Saya menuntut permohonan maaf dari CIA dan MI-6," katanya kemarin. Maklum, selepas diciduk CIA dan MI-6 di Bangkok, Thailand, ia dikirim dengan pesawat khusus ke Tripoli. Ia pun bonyok digarap agen-agen Dinas Intelijen Libya di bawah rezim Qadhafi. Ia dituduh melakukan tindak terorisme.
"Apa yang terjadi kepada saya dan keluarga saya adalah suatu pelanggaran hukum," Belhaj menambahkan. "Saya berhak mendapatkan permintaan maaf. Termasuk atas apa yang saya alami ketika saya ditangkap dan disiksa." CIA dan MI-6 memang tak ikut menyiksa. "Tapi mereka memeriksa saya setelah itu," ujarnya.
Namun, kepada The New York Times, Belhaj mengatakan akan memusatkan perhatian pada masa depan Libya. "Kami hanya berfokus pada Libya dan cuma Libya," ucapnya. Ia juga membantah tuduhan masa lalu yang berkaitan dengan jaringan Al-Qaidah. "Kita tak ada hubungannya dengan Al-Qaidah dan tak pernah ada. Kami punya agenda yang berbeda."
Sementara Belhaj ditangkap, lain halnya dengan Saif al-Islam, 39 tahun, putra sekaligus tangan kanan Qadhafi. Dulu Saif adalah "rekan dekat" CIA dan MI-6. Laporan yang dilansir The Independent menyebutkan, MI-6, Scotland Yard, dan pasukan komando Inggris SAS telah menyelamatkan Saif dari upaya percobaan pembunuhan di Inggris pada sekitar 2003.
Saat itu Saif diincar oleh sekelompok militan Islam. Kini situasinya berbalik 360 derajat. Saif kini justru diburu oleh organisasi yang dulu melindunginya itu. Saif juga dekat dengan CIA lantaran sukses meyakinkan ayahnya untuk tak meneruskan upaya membuat senjata pemusnah massal serta berbaik hati kepada Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya.
"Saya berhasil membujuk ayah saya," kata Saif dalam sebuah wawancara pada sekitar 2004. "Pada akhirnya kami punya hubungan yang baik dengan CIA, MI-6, dan Amerika, juga Inggris."
MI-6 dan CIA menolak mengomentari kedekatan ini. Seperti di film Hollywood, Mission: Impossible, pemerintah Inggris telah menegaskan tak akan mengomentari isu intelijen.
Begitu pula CIA, tak bersedia mengomentari peran baru Belhaj.
Padahal, sehari sebelumnya, juru bicara CIA, Jennifer Youngblood, mengatakan bahwa pihaknya melakukan hal itu demi melindungi kepentingan rakyat Amerika Serikat. Tapi, ya, itu tadi, tak ada kawan dan lawan yang abadi. Saif dan ayahnya kini diincar oleh bekas kawan baiknya tersebut.
AP | REUTERS | INDEPENDENT | ANDREE PRIYANTO