TEMPO Interaktif, Pemuda berkulit gelap ini ke mana-mana selalu membawa sebuah tas samping. Isinya sebuah komputer jinjing yang kerap kena virus saat dipakai, beberapa lembar kertas, dan tiga kartu identitas yang berisi data pribadi dilengkapi foto.
Dengan tiga kartu identitas itu, Muhammad Abdul Qadir, 20 tahun, selalu menyatakan dirinya wartawan kepada wartawan asing yang bermukim di Hotel Uzu, Benghazi. Namun ketika Tempo, Sabtu, 3 September 2011, memeriksa ketiga kartu itu ternyata bukan kartu pers. Memang ada tulisan Altayan Post, tapi seperti dibikin-bikin. Tak ada tanda tangan dari pemimpin redaksi media yang bersangkutan.
Abdul Qadir tidak bekerja sendiri. Ia selalu didampingi Firas Mustofa yang ke mana-mana menyandang tas punggung. Isinya paling banter kamera kecil merek Canon seri A. “Kami memang wartawan, tapi bekerja melalui Facebook,” kata Firas kepada Tempo.
Namun tetap saja meragukan. Muhammad tidak pernah terlihat serius membuat berita. Kalaupun pergi meliput, ia lebih banyak menghabiskan waktu mengambil foto-foto pemandangan atau foto dirinya di lokasi liputan. Bahkan ada kesan ia berusaha mendompleng pekerjaan wartawan.
Lain lagi dengan gaya Abdul Hamid, 34 tahun. Ia mengaku sebagai teknisi IT di ruang pusat media NTC (Dewan Transisi Nasional), juga berlokasi di Hotel Uzu. Ia pernah menjanjikan kartu perdana Libya bagi Tempo sejak pertama kali bertemu. Namun sampai sekarang omongannya tidak terbukti.
Dua hari lalu, ia memastikan bisa memberikan akses penerbangan ke Ibu Kota Tripoli. Tapi dengan biaya 300 dinar Libya atau hampir US$ 300. Namun menurut Hasan, seorang penerjemah bebas, wartawan dan misi kemanusiaan tidak wajib membayar untuk terbang ke Misrata atau Tripoli.
Semalam, kepada seorang wartawan dari Jepang, Abdul Hamid mengaku sebagai seorang wartawan. Ia memberikan jawaban seperti itu karena wartawan itu meminta bantuan mengantarnya hingga ke perbatasan Mesir di Kota Shalum. “Saya akan membayar Anda berapa saja,” katanya. Ia tampak kebingungan mencari kendaraan buat ke Ibu Kota Kairo.
Meski Abdul Hamid menyanggupi, entah kenapa pembicaraan tidak berlanjut. Kesepakatan yang tentunya diharapkan oleh Abdul Hamid gagal tercapai.
Ada juga seorang pria berkulit hitam yang berhasil memperdaya seorang wartawan perempuan dari Spanyol bernama Suzanna. Ia berhasil merayu perempuan 33 tahun itu untuk membeli kartu perdana Libya seharga 200 dinar dua malam lalu. “Saya terpaksa,” ujarnya. Padahal kartu itu tidak dapat dipakai untuk mengirim pesan pendek atau menelepon ke luar Libya. Hanya bisa menerima pesan dan telepon.
FAISAL ASSEGAF (BENGHAZI)