TEMPO Interaktif, Dua lelaki tampak sedang duduk santai dalam sebuah ambulans. Boleh jadi mereka tidak kuat menahan sengatan matahari. Berkaca mata hitam dengan kaus kutang hitam namanya Fauzi Sa'ad Umar, 35 tahun, sedangkan di sampingnya Hafiz Abdurrahman 42 tahun, dengan seragam militer dengan warna gurun.
Di sebelah ambulans terparkir sebuah mobil bak terbuka berisi bak air. Sebuah bendera tiga warna (merah, hitam, dan hijau dengan bulan sabit dan bintang di bagian tengah) berkibar-kibar ditiup angin gurun yang berembus kencang. Lalu di sampingnya lagi berdiri kemah seadanya. Di dalam sana tampak dua pria sedang tidur-tiduran.
Berseragam loreng warna hijau dengan topi bercorak sama bernama Umar Naji, 34 tahun. Satunya lagi Mundir Amin, 23 tahun. Semua tampak berantakan, tidak teratur. Tidak ada kesan mereka tentara profesional. Jadi benar-benar di luar dugaan. Tidak ada kamp konsentrasi yang berisi tentara pemberontak dalam jumlah besar.
Seperti dilaporkan wartawan Tempo Faisal Assegaf dari Libya, para pemberontak itu kelihatan tidak membuat persiapan yang benar-benar serius. Tidak ada latihan fisik dan kemampuan tempur rutin saban hari. Bahkan saat Tempo menyambangi lokasi itu di Umma al-Gindi, Jumat, 2 September 2011, mereka mengaku tidak memiliki komandan atau bahkan rencana untuk menyerang Sirte.
“Kami tidak punya rencana apa-apa. Kami tidak mau banyak bicara, yang penting bertindak,” kata Fauzi yang mengaku bekerja di pabrik keramik. Meski dengan persiapan seadanya, ia sangat yakin bisa mengalahkan pasukan Qadhafi yang terlatih. “Saya yakin seratus persen karena rakyat Libya mendukung,” kata Fauzi sambil menepuk-nepuk dadanya.
Padahal mereka meyakini Muammar Qadhafi bersembunyi bersama sekitar 8.000 pasukannya di dalam kota kelahirannya itu. Pemimpin Libya yang sudah berkuasa selama 42 tahun itu memang mendapat dukungan dari para kepala suku di sana.
Namun hingga kini tidak ada kepastian soal lokasi persembunyian Qadhafi. Sejumlah laporan menyebutkan ia sudah menyeberang ke Aljazair atau Zimbabwe. Namun Pemerintah Aljazair hanya mengakui istri kedua Qadhafi, Safiyah, bersama Hanibal, Muhammad, dan Aisyah Qadhafi memang diberi suaka dengan alasan kemanusiaan.
Pemimpin pemberontak sekaligus Ketua Dewan Transisi Nasional (NTC) Mustafa Abdul Jalil sudah memperpanjang batas waktu dari Sabtu pekan ini hingga pekan depan. Mereka berharap Qadhafi bersama keluarga dan pengikut setianya bersedia menyerahkan diri. Namun, buronan yang dihargai Rp 14,5 miliar itu bersumpah akan berjuang hingga penghabisan.
Fauzi mengaku tidak kecewa dengan keputusan Mustafa Abdul Jalil untuk memberi kesempatan berunding. “Kami sebenarnya lebih suka penyelesaian secara damai,” ujarnya. Namun jika negosiasi gagal, ia menegaskan milisi anti-Qadhafi siap menyerbu Sirte.
Informasi yang diperoleh Tempo, pemberontak dan NATO sama-sama menghadapi dilema untuk membombardir Sirte. Sebab, pasukan Qadhafi bercampur dengan warga sipil. Jadi mereka khawatir bakal banyak penduduk yang terbunuh. Kota ini dihuni lebih dari 75 ribu penduduk.
Harapan terjadinya solusi damai juga dilontarkan oleh Hafiz Abdurrahman. “Kami tidak lagi melihat pertumpahan darah.” Ia memperkirakan saat ini terdapat sekitar 20 ribu pemberontak mengepung Kota Sirte. Saat ini garis terdepan yang ditempati pasukan pemberontak berada di Wadi al-Ahmar, sekitar 70 kilometer dari Sirte.
Di Nufulia kondisinya juga sama. Sejumlah tenda untuk berleha-leha didirikan di bawah rimbunan pepohonan. Mobil-mobil bak terbuka yang dilengkapi senapan mesin hilir mudik. Para pemberontak tampak duduk-duduk santai sambil ngobrol. Ada para pemuda yang ikut berjuang sekadar gagah-gagahan dengan senapan serbu AK-47.
Bahkan ada kesan para pemuda yang ikut berjuang hanya untuk mengisi waktu luang. Ini tersirat dari pengakuan Muhammad, 23 tahun. “Di bulan Ramadan saya seharian di lapangan, kalau buka puasa pulang dan tidur. Besok baru kembali lagi ke sini.”
Kegiatan yang boleh dibilang serius di sana cuma di bengkel perbaikan senjata. Jangan membayangkan bengkel berupa bangunan dengan peralatan lengkap. Yang ada hanya truk militer. Di sanalah semua jenis senjata yang dimiliki pemberontak dirawat dan diperbaiki. Selepas itu langsung dicoba untuk diketahui apakah sudah bisa berfungsi dengan baik.
Menurut seorang teknisi bernama Mahdi Fathiyah, 26 tahun, bengkel berjalan ini kerap berpindah-pindah tempat. “Sebelumnya saya tidak tahu cara memperbaiki senjata, tapi saya belajar di sini.” Manajer bengkel, Fadhil Sereti, 39 tahun, mengungkapkan saban hari anak buahnya memperbaiki 10-15 senjata berat dan lusinan senjata ringan.
Situasi serupa juga ditemui di Bin Jawad dan Ras Lanuf. Para pemberontak tampak santai dan tidak membuat persiapan seperti halnya ingin menghadapi pertempuran terakhir sekaligus paling sengit. Barangkali ini wajar saja. Mereka hanya warga biasa yang tidak pernah mengangkat senjata. Sebut saja Umar Naji yang cuma guru bahasa Arab atau Mundir Amin yang sebenarnya petugas paramedis.
Kita boleh saja menertawakan atau tersenyum kecut jika melihat persiapan yang dilakukan. Tapi satu hal penting yang patut diacungi jempol dan itu bisa menjadi menjadi modal paling kuat untuk mengakhiri rezim Qadhafi buat selamanya. Para pemberontak itu memiliki semangat dan keinginan kuat.
FAISAL ASSEGAF (BIN JAWAD)