Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menyusuri Jalan Sepanjang Perbatasan Hingga Benghazi  

image-gnews
AP Photo/Rodrigo Abd
AP Photo/Rodrigo Abd
Iklan

TEMPO Interaktif, Meski konflik bersenjata sedang meletup di Libya, namun situasi di perbatasan kedua negara tenang. Tidak tampak pengamanan diperketat. Yang ada hanya sebuah mobil lapis baja di pos perbatasan bagian Mesir.

Revolusi yang timbul sejak Februari lalu menjelang akhir setelah dua pekan lalu tentara pemberontak berhasil menguasai Tripoli. Namun, pemimpin Libya Muammar Qadhafi hingga kini menolak menyerah dan mundur dari kekuasaan yang sudah ia genggam selama 42 tahun.

Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 6 tepat saat Tempo tiba di pos perbatasan Salum, antara Mesir dan Libya. Suasana masih sepi, baru ada 2 mobil di pos bagian Mesir. Suara azan Subuh juga baru berkumandang. Hari masih gelap dan cuma terdengar anjing menggonggong.

Setelah mengisi formulir keberangkatan bagi warga negara non-Mesir dan menyerahkan paspor, urusan tidak selesai begitu saja. Petugas di sana bersama Niel al-Bassi, pemuda asal Benghazi yang memakai paspor Amerika Serikat, dipanggil oleh komandan perbatasan. Sang komandan ingin memastikan apakah Tempo benar-benar seorang wartawan.

Selepas itu, Tempo yang satu mobil dengan 6 warga Benghazi, termasuk sang sopir, harus menunggu di gedung pelayanan yang belum dibuka. Pos perbatasan ini mengingatkan pada tempat serupa di perbatasan Libanon-Suriah, baik dari tata letak maupun bentuk gedung.

Bangunan itu kusam dan lantainya kotor. Sampah tercecer di mana-mana meski tempat pembuangan tersedia di dalam dan di luar gedung. Tampak 3 orang sedang tertidur di bangku panjang karena datang kepagian. Setelah menunggu hingga pukul 8, seorang warga Benghazi yang tidak tahan meminta semua paspor kami. Ia yakin dengan menyuap petugas perbatasan cap yang diperlukan bakal segera keluar.

Hanya 10 menit berselang, 6 paspor kami sudah berisi stempel keluar dari pihak imigrasi Mesir. “Fii fulus, kholas (Ada uang semua masalah selesai),” kata Neil al-Bassi seraya tersenyum. Ia menambahkan sudah menjadi aturan tidak tertulis semua urusan di Negeri Sungai Nil itu bisa selesai dengan uang. Persis seperti di Indonesia.

Perjalanan dilanjutkan ke pos wilayah Libya. Euforia kemenangan revolusi tampak di mana-mana. Bendera tiga warna (merah, hitam, dan hijau dengan bulan sabit dan bintang di bagian tengah) berkibar dan dilukis di dinding-dinding. “Libya hurra (Libya merdeka),” teriak seorang pemuda penjaga perbatasan sambil mengacungkan jari membentuk huruf V (kemenangan).

Lagi-lagi di sini terjegal sedikit masalah. Mereka mempertanyakan soal surat penerimaaan dari tokoh di Libya. Itu sebagai tanda persetujuan untuk datang meliput ke negara itu. Maklum saja, Kedutaan Besar Libya di Jakarta tidak melayani permohonan visa terkait situasi negara mereka. Setelah diwawancara, akhirnya cap itu pun keluar.

Setelah tertahan tiga jam di pos perbatasan Salum, antara Mesir dan Libya, perjalanan panjang dan melelahkan dimulai selama kurang lebih enam jam menuju Benghazi. Di awal-awal memasuki wilayah Libya, lukisan bendera tiga warna berdampingan dengan Umar al-Mukhtar tampak di mana-mana. Gambar itu mendominasi dinding rumah, bangunan kosong, bedeng pos pemeriksaan, restoran, dan pom bensin.

Namun setelah itu, hanya gambar bendera tiga warna yang tampak di mana-mana. Perjalanan menyusuri jarak sekitar 483,7 kilometer itu terasa membosankan. Di kana-kiri yang tampak cuma gurun pasir. Kadang-kadang ada sekumpulan unta dan sapi yang mencari makan. Hawa di luar amat panas dan angin bertiup kencang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apalagi lebih banyak trek lurus yang dilahap dengan kecepatan rata-rata 140 kilometer per jam. Kalau dihitung-hitung, ada 14 polisi tidur sepanjang perbatasan hingga Benghazi, kota terbesar kedua setelah ibu kota Tripoli.

Pos-pos pemeriksaan dari yang kosong hingga ada petugasnya masih berdiri di jalur perbatasan sampai Benghazi. Dibuat dari kayu dan atap plastik hingga seng, dan peti kemas, atau memakai bangunan kosong. Semua berhiaskan gambar bendera tiga warna.

Kamal Ahmad, sopir kami punya resep jitu untuk menghindari kecurigaan para pemberontak yang menjaga lebih dari 20 pos pemeriksaan itu. Ucapkan salam atau memberi tahu mereka orang Libya. Di tengah perjalanan tampak sebuah mobil sedan berisi tentara pemberontak mengacungkan tanda V kepada kami.

Menurut Muhammad, pemuda Benghazi, kehidupan secara umum di wilayah-wilayah yang sudah dikuasai pemberontak berangsur-angsur normal. “Kami mulai berbenah sekarang,” kata lelaki yang baru pulang ke kampung halamannya setelah menyelesaikan program master di Universitas Perugia, Italia, ini.

Setelah bosan menanyakan berapa lama lagi, Tempo akhirnya memasuki pinggiran Kota Benghazi. Tampak antrean di dua pompa bensin. Bendera tiga warna berukuran kecil dipasang di tiang-tiang lampu jalan.

Dalam perjalanan darat ini, kami melewati pula Tobruk dan Triana yang juga pernah menjadi lokasi pertempuran antara pasukan pemberontak dan tentara yang setia terhadap pemimpin Libya Muammar Qadhafi. Hingga kini, Qadhafi dan para pendukungnya menolak seruan dari pemimpin Dewan Transisi Nasional (NTC) Mustafa Abdul Jalil untuk menyerah.

Qadhafi diyakini masih bersembunyi di Libya, tepatya di Sirte yang merupakan kota kelahirannya. Awalnya, pasukan Qadhafi diberi tenggat hingga Sabtu untuk menyerah, namun batas waktu itu diperpanjang hingga Sabtu pekan depan.

Suasana dalam kota masih sepi karena warga Benghazi masih libur Idul Fitri hingga Sabtu. Sama seperti pengumuman pemerintah Indonesia, rakyat Libya kebanyakan merayakan Hari Kemenangan itu Rabu lalu. Simbol-simbol kemenangan pemberontak, yakni bendera tiga warna bertebaran di mana-mana, di persimpangan, toko, rumah-rumah, bahkan hingga meja resepsionis hotel.

FAISAL ASSEGAF (BENGHAZI)


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Markas Perusahaan Minyak Nasional Libya Diserang, 4 Orang Tewas

10 September 2018

Ladang minyakperusahaan minyak Italia Eni di Mellitah, Libya. AP/Eni Press office
Markas Perusahaan Minyak Nasional Libya Diserang, 4 Orang Tewas

Sejumlah pria bersenjata menyerang kantor pusat perusaahan minyak nasional Libya, NOC, di Tripoli, Senin 10 September 2018.


Trump Pastikan Model Libya Tak Dilakukan di Korea Utara

18 Mei 2018

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un melambai tangan dari mobilnya saat ia kembali ke Korea Utara usai mengadakan pertemuan dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di desa perbatasan Panmunjom di Zona Demiliterisasi, Korea Selatan, 27 April 2018. (Korea Summit Press Pool via AP)
Trump Pastikan Model Libya Tak Dilakukan di Korea Utara

Trump mengatakan penyelesaian denuklirisasi Korea Utara tidak akan menggunakan model Libya, seperti disuarakan penasehat Keamanan AS, John Bolton.


Sempat Divonis Mati, Putra Khadafi Malah Dibebaskan  

11 Juni 2017

Saif al-Islam (kiri) dan ayahnya, Muammar Gaddafi. REUTERS/Chris Helgren (kiri) and Jamal Saidi
Sempat Divonis Mati, Putra Khadafi Malah Dibebaskan  

Saif al-Islam, putra kedua Muamar Khadafidiktator Libya yang telah dijungkalkan, dilaporkan bebas dari penjara.


ISIS Paksa Perawat Filipina Latih Militan di Libya  

28 Februari 2017

ISIS memaksa perawat Filipina memberikan pelatihan medis di Libya. scmp.com
ISIS Paksa Perawat Filipina Latih Militan di Libya  

Staf kesehatan Filipina bekerja di rumah sakit utama di Sirte, Libya, yang digunakan ISIS untuk mengobati militan yang terluka.


Bulan Sabit Merah Temukan 74 Mayat di Pantai Libya

22 Februari 2017

Bulan Sabit Merah Temukan 74 Mayat di Pantai Libya

Kemungkinan masih ada korban yang tenggelam ke dalam laut.


Libya Cegat 400 Pengungsi Tujuan Eropa

5 Februari 2017

Para migran dari Eritrea terjun ke laut dari kapal yang penuh penumpang di perairan Mediteranian, sekitar 13 mil di utara Sabratha, Libya, pada 29 Agustus 2016. Ribuan pengungsi yang menaik 20 perahu lebih diselamatkan oleh anggota LSM. AP/Emilio Morenatti
Libya Cegat 400 Pengungsi Tujuan Eropa

Di antara pengungsi yang berada di perahu tersebut berasal dari Suriah, Tunisia, Libya, dan wilayah otoritas Palestina.


Gara-gara Monyet Perang Suku Pecah di Libya, 20 orang Tewas

21 November 2016

sxc.hu
Gara-gara Monyet Perang Suku Pecah di Libya, 20 orang Tewas

Keluarga siswa SMA yang menjadi korban serangan monyet yang dilepaskan tiga pemuda, membalas dendam hingga terjadi perang suku di Shaba,Libya.


Tragis, Wartawan Belanda Tewas Ditembak Sniper  

3 Oktober 2016

Pasukan Libya yang berafiliasi dengan pemerintah saat bertempur dengan ISIS di Sirte, Libya, 22 September 2016. AP/Manu Brabo
Tragis, Wartawan Belanda Tewas Ditembak Sniper  

"Mayat Oerlemans dibawa ke rumah sakit Misrata, 200 kilometer sebelah barat Sirte."


Libya Rebut Kembali Sirte dari Tangan ISIS  

17 Agustus 2016

Pasukan Libya yang berkoalisi dengan PBB menembakan roket saat bertempur dengan ISIS di Sirte, Libya, 4 Agustus  2016. REUTERS/Goran Tomasevic
Libya Rebut Kembali Sirte dari Tangan ISIS  

"Distrik Dua berhasil dibebaskan," kata Reda Issa, juru bicara pasukan pro-pemerintah, kepada kantor berita Reuters.


Pertama Kali, Jet AS Hajar Basis ISIS di Libya  

2 Agustus 2016

Aksi pasukan tentara Libya dalam pertempuran melawan militan ISIS di Sirte, Libya, 21 Juli 2016. Tentara Libya bersekutu dengan pasukan PBB untuk merebut kembali kota Sirte dari tangan kelompok militan tersebut. REUTERS
Pertama Kali, Jet AS Hajar Basis ISIS di Libya  

Menurut keterangan Pentagon, serangan udara yang dilancarkan pada Senin kemarin untuk menjawab permintaan Otoritas Pemerintah Nasional (GNA).