TEMPO Interaktif, Mantan Presiden Mesir yang terjungkal, Husni Mubarak, 83 tahun, menjalani hari-harinya di penjara baru. Ia tak lagi menjalani rehat mewah di rumah peristirahatan megah Sharm al-Sheikh, tapi di sebuah rumah sakit di kompleks Akademi Kepolisian di Kairo. Sebuah aula di kompleks ini juga menjadi tempat persidangannya Rabu lalu.
Ia muncul di depan publik Rabu itu bukan sebagai sosok kuat berkuasa, melainkan sebagai pria ringkih. Ia terbaring di dalam terali besi di ruang pengadilan.
Sebelum Mubarak dan kedua putranya tiba, orang-orang ribut. "Apakah kamera tadi menyorot saya? Saya ingin menjadi bagian dari peristiwa bersejarah ini," ujar seorang polisi kepada koleganya setelah muncul sepintas di layar televisi.
Menurut koresponden Reuters di Kairo yang berada di ruang sidang, perhatian hadirin berubah ketika layar televisi menyorot kurungan tempat para terdakwa kriminal. Tiba-tiba sebuah pintu logam terbuka memberi jalan para terdakwa masuk.
Putra Mubarak, Gamal, yang dulu digadang menjadi calon presiden, masuk dengan jam tangannya memantulkan kilau sinar lampu. "Itu Gamal! Dia masih berlagak seperti muncul di sebuah konferensi Partai Demokratik Nasional," seru seseorang. Partai Demokratik Nasional adalah bekas partai penguasa. Gamal diikuti kakaknya, Alaa, yang menghindar dari kontak mata dengan pengunjung sidang.
Tak lama ayah keduanya, yang berada di atas ranjang rumah sakit, masuk menuju kerangkeng terdakwa. Putranya, yang memegang Al-Quran, tampak menutupi Mubarak dari sorotan kamera TV. Lusinan polisi juga menutup pandangan.
Dengan lebih dari 100 pembela, jajaran hakim di depan Mubarak tampak terlalu ramping. "Apa yang Anda inginkan? Apa saja permintaan Anda? Tolong, cepat," kata hakim Ahmed Refaat, setelah seorang pembela berdiri membuat permintaan selama sesi sidang yang berlangsung empat jam itu. Akhirnya Refaat mengetuk palu melanjutkan sidang pada 15 Agustus, dan Mubarak pun didorong keluar.
Reaksi di luar pengadilan beragam. "Ya, dia yang memerintahkan pembunuhan," ujar Hoda Saeed, pramuniaga di sebuah toko di dekat Lapangan Tahrir. Dia menginginkan hukuman mati untuk Mubarak dan kaki tangannya.
Lain dengan Mohammed Nihad, bankir di Kairo berusia 28 tahun. "Ia harus diadili, tapi tak perlu begitu memalukan," katanya kepada Ahram Online kemarin.
Di Irak, banyak warga Bagdad menyejajarkan penuntutan Mubarak dengan Saddam Husein. "Saddam dan Mubarak adalah penjahat dengan cara mereka sendiri," ujar Ahmed Amer, 40 tahun, kemarin. "Biarkan orang melihat nasib tiran itu."
REUTERS | THE NEW YORK TIMES | THE GAZETTE | DWI ARJANTO