TEMPO Interaktif, Jalan di depan markas Partai Demokrat kemarin siang mendadak riuh oleh suara klakson beberapa sepeda motor diiringi yel-yel dari para pengendara. "Yingluck nomor satu!" begitu mereka berteriak-teriak ke arah kantor partai tertua di Negeri Gajah Putih itu.
Atribut serba merah dengan spanduk bergambar Yingluck Shinawatra dan Partai Puea Thai dilambai-lambaikan. Mereka berkonvoi meneriakkan kemenangan partai bernomor urut 1 dalam pemilihan umum pada 3 Juli lalu tersebut.
Partai bermakna "untuk rakyat Thailand" atau "For Thais" itu didirikan oleh Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang digulingkan dari jabatannya lewat kudeta pada 2006. Adik bungsunya, Yingluck Shinawatra, menjadi kandidat perdana menterinya.
Suara berisik kembali terdengar ketika konvoi pendukung Puea Thai itu kembali memasuki jalan tempat Demokrat berkantor. Sejak pagi, markas Demokrat memang sepi. Kalah telak dalam pemilu membuat penghuninya lesu.
Konvoi itu tidak mendapat tanggapan dari para petinggi Demokrat yang berada di dalam gedung. Beberapa wartawan mengabadikan konvoi pendukung Puea Thai. "Kami Partai Demokrat. Demokrasi tidak mengajarkan itu," kata Boenyat Sooktinthai, petinggi Demokrat, menjawab pertanyaan wartawan.
Menurut Boenyat, Demokrat sudah cukup puas dengan pemilu yang berlangsung damai. Itu berarti demokrasi dapat berjalan di Thailand. "Bukan dengan keluar dan membakar kota."
Demokrat boleh puas karena pemilu berlangsung damai. Konvoi pendukung Yingluck boleh bangga partainya menang telak dalam pemilu. Namun suara pesimistis juga ada.
Watchara Sroysangwal, 30 tahun, karyawan di perusahaan komunikasi di Kota Chiang Mai, utara Thailand, mengaku pesimistis dengan masa depan negaranya. "Saya tidak punya harapan untuk masa depan Thailand," ujarnya. "Mereka dapat saja membawa nama baru, tapi mereka itu berada di kelompok yang sama seperti dulu."
Wajah Kwanrudee Saengnon, 26 tahun, juga muram menyikapi hasil pemilu. "Jumlah konflik di Thailand besar sekali jika kamu bandingkan dengan negara-negara lain," tuturnya. Baginya, apa yang terjadi di negaranya bukan demokrasi yang sesungguhnya. "Yang terjadi, mayoritas memutuskan pemenangnya."
Thitinan, Direktur Program Studi Internasional di Universitas Chulalongkorn, berusaha realistis bahwa persoalan konflik di Thailand tidak bisa selesai dalam semalam. Sehingga, seharusnya rakyat Thailand harus menyikapi persoalan pemilu ini lebih dewasa. "Kita bicara mengenai pencapaian dari kedewasaan politik dalam dua atau tiga dekade mendatang."
YOPHIANDI (BANGKOK | SYDNEY MORNING HERALD | MARIA RITA