TEMPO Interaktif, Tripoli - Jet-jet tempur Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) kemarin menggempur area di dekat kediaman pemimpin Libya, Muammar Qadhafi, di Bab al-Aziziya, Tripoli, yang memicu rangkaian ledakan keras. Belum jelas apa targetnya dan belum ada pejabat Libya yang menyampaikan pernyataan.
Penyelesaian konflik di Libya mengalami jalan buntu dan dalam hubungan antara aliansi NATO mulai ada kerikil yang mengganjal. Pekan lalu, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates mengkritik sekutunya di Eropa karena tak berbuat cukup baik. Awal pekan ini Inggris berniat menarik diri dari operasi.
Tindakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga menuai pertanyaan. Selasa lalu, di Washington, parlemen Amerika mengesahkan satu resolusi penolakan melawan keterlibatan Amerika di konflik Libya. Sehari kemudian, 10 anggota Kongres menuntut Obama karena dinilai mengambil aksi militer tanpa persetujuan Kongres.
Namun, Gedung Putih berkukuh Obama memiliki kewenangan sah atas keterlibatan militer di Libya dan mendesak para legislator skeptis agar tidak mengirim “pesan-pesan membingungkan” soal komitmen mereka ke NATO. Argumen itu muncul dalam laporan setebal 32 halaman ke Kongres kemarin.
Laporan itu bakal tak bisa menenangkan para pemimpin Kongres yang prihatin atas strategi di Libya ataupun membengkaknya ongkos perang yang membebani anggaran. Namun, seorang pejabat senior bilang Obama “konsisten” dengan Resolusi Kekuatan Perang yang disahkan Kongres pada 1973. Dalam resolusi itu, seorang presiden punya waktu 60 hari sejak dimulainya operasi militer untuk beroleh otorisasi dari Kongres atau menarik pasukannya. Dalam hal Libya, tenggat sudah berakhir Mei. Pada voting 3 Juni lalu, DPR memberi Obama waktu dua pekan. Tenggatnya hari ini. Soal biaya, ongkos operasi militer Amerika dan bantuan kemanusiaan di Libya sudah menguras anggaran US$ 716 juta per 3 Juni. Jumlah itu menjadi US$ 1,1 miliar lebih pada 30 September nanti.
WASHINGTON POST | CBS | AL JAZEERA | DWI ARJANTO